Sabtu, 30 April 2016

Kudus

Kudus secara administratif adalah sebuah kabupaten. Jika berkunjung sendiri kesini, tidak butuh lebih dari 2 jam untuk mengitari seluruh kabupaten dengan kendaraan bermotor. Biasanya sewaktu jalan-jalan santai mengitari wilayah kudus, saya suka kehabisan ide mau kemana lagi. Dulu, jaman SMA, ketika sedang hobi-hobinya dibonceng motor teman, kami selalu mengulang rute yang sama. Berkali-kali.

Tapi saya ingin bilang bahwa saya merasa sangat beruntung lahir dan dibesarkan di sebuah desa. Kudus memberi hadiah yang luar biasa dalam hidup saya: masa kecil yang berharga. Ada semacam rasa hangat yang menyeruak jika saya mengingatnya.

Bermain di alam, punya petualangan sendiri seperti si bolang, berlarian di rerumputan, berburu capung, menangkap kupu-kupu, bersembunyi di semak-semak, tak bosan-bosannya memanjat pohon, memetik segala macam tetumbuhan, menyicip buah-buahan dari tanaman liar, masuk keluar tepian sungai, menangkap ikan-ikan kecil di selokan, bersuka cita di bawah hujan, main tanah, masak-masakan, bersepeda sejauh kaki mengayuh, berburu kersen, pulang ke rumah dengan baju penuh getah, atau kuyup diguyur hujan, atau kaki yang berlumpur, atau tangan yang luka. Tidak peduli diomeli, karena rasanya, saya telah terisi penuh dengan kebahagiaan. Betapa waktu itu hidup seperti sangat sederhana.

Dan sekarang, setelah banyak yang berubah (dan biasanya orang-orang mengkambinghitamkan arus globalisasi), -walau saya yakin setiap orang akan mengalami kisah berharganya sendiri-sendiri-, ada semacam rasa bersalah pada anak saya nantinya, karena mungkin saya belum tentu bisa menyediakan kemewahan masa kecil yang sama untuknya. Hanya doa, semoga ia tumbuh jadi anak yang banyak belajar. Kapan saja, dimana saja.
continue reading Kudus

Kamis, 28 April 2016

Cassini dan Saturnus

"Ini kisah cinta paling menyentuh se-tata surya, kisah cinta favorit saya : Cassini dan Saturnus. Saturnus dikelilingi banyak penggemar, cantik, narsis, dan menjadi pusat perhatian dalam tata surya. Dan Cassini, sang penggemar yang tak pernah diperhitungkan, yang diam-diam setiap saat memotret sang pujaan, memerhatikan every-single-detail, memetakan kekuatan lawan, berpantang menyerah meski tahu waktunya terbatas, penuh percaya diri walaupun dia artifisial. Dan kenyataannya, dia hanya ditugaskan sebagai mata-mata bagi makhluk kecil, arogan, paling kepo, paling sok tau di alam semesta: Homo Sapiens. Ah, Cassini punya semua kriteria pria romantis."
continue reading Cassini dan Saturnus

Dududududu (judul macam apa ini)

Hari ini saya ke kampus hingga sore, karena membetulkan ijazah yang namanya salah.
Tembalang lagi hujan. Jadi pulangnya hujan-hujanan. Sendirian.
Pas nyampe hampir ngesrep (dekat kosan), beli makan dulu: nasi padang dibungkus. Pas mau balik, tiba-tiba ada yang manggil-manggil, ”mona.mona.mona!”. Ternyata yang manggil (sebut saja) mbak upik dari warung nasi goreng sebelah warung jus sebelah warung nasi padang (ribet banget mon)
“sini neng!”, si ibu yang jualan nasi goreng manggil (btw, cerita dulu, ibu ini bukanlah figuran, tapi tokoh utama. Ibu ini yang jualan nasi goreng, jualan mie goreng juga, mie rebus juga, nasi ruwet juga, capcay juga *apa sih mon?* intinya jualan makanan)
“iya bu”
“hujan-hujanan mon? ga bawa payung?”, mbak upik nanya.
“kan ga punya,hehe”
“dasar”
“mau bikin sendiri neng mona?”, si ibu nanya sambil ngaduk-ngaduk entah apa itu.
“saya ga makan bu”. Ga enak juga bilang uda beli nasi padang.
“lagi diet mon?”.mbak upik nanya lagi.
“ya enggalah, apaan udah seksi gini..”
Saya mengambil kursi plastik terdekat lalu duduk. Bengong. Kedinginan. Mbak upik mengambil alih pekerjaan si ibu numis sesuatu. Si ibu jadi nganggur.
“neng mona mau dibikinin teh anget?”
“hm???” *bengong*
“mau neng?”
“…”*mikir*
“ga bayar kok neng…”
“hihi”*seneng*
Ngelirik mbak upik. Mbak upik ngangguk-ngangguk sambil senyum-senyum.
“takut ngerepotin bu..”*basa basi doang*
“ya engga lah neng…”
“hmm.. boleh deh bu..makasih..”* malu-malu tapi mau juga* (lebih ke malu-maluin sih)
Lalu si ibu ke belakang. Bukan. Bukan ke toilet. Tapi ke dapur, mau bikinin teh anget. Beberapa menit kemudian si ibu dateng dengan dua gelas teh anget, buat saya sama mbak upik.
“neng mona, upik, ini tehnya.. diminum cepet,anget-anget,”
“makasih bu,,”. Saya senyumin ibu. Si ibu balas tersenyum.
“ibu ga minum?”
“ibu ga usah neng..”
Hujan makin deres, Hmmm, teh anget…pas banget…
Rasanya uda lamaaaaa banget ga minum teh anget,
Tiba-tiba jadi kangen ibu saya di rumah
continue reading Dududududu (judul macam apa ini)

Si Manusia yang Kecil

Adalah Galileo Galilei, konon kabarnya orang pertama yang membuat dan menggunakan teleskop untuk alasan astronomis. Galileo tahu, ada tempat-tempat yang sangat jauh di luar bumi. Pada saat itu, abad ke-16, lewat teleskopnya Galileo tidak hanya sampai pada kawah-kawah di bulan, ia bahkan meneliti fase venus dan menemukan satelit-satelit planet Jupiter. 4 abad setelahnya, Satelit Hubble yang mengorbit bumi diluncurkan. Temuan hubble mengonfirmasi bahwa bumi teramat kecil di alam semesta yang mahaluas dan maharumit. Dan selalu bertambah luas dan bertambah rumit.

Namun tentu saja, jauh sebelum hubble, jauh sebelum Galileo, bahkan jauh sebelum ada teleskop, sejak manusia mulai bisa menengadahkan wajahnya ke langit, mereka sudah tau bahwa mereka tidak sendiri dan mereka amat kecil.

Maka saya -yang dari bocah (ga)ingusan hingga sekarang selalu beranggapan bahwa jadi astronot itu keren- selalu menyukai perjalanan dan ketinggian. Karena variabel 'jarak' dan 'durasi' memberi efek kesadaran kosmik yang sangat saya suka: tentang betapa kecil dan tidak signifikannya manusia di alam semesta. Atau dalam istilah yang lebih populer "bagai remah-remah rengginang mikroskopis". haks

Manusia begitu kecil dalam ruang dan waktu, bergerak lamban, hanya mampu melihat dalam kisaran panjang gelombang cahaya 380 hingga 780nanometer saja, dan hanya mampu mendengar suara dengan frekuensi 20 sampai 20.000 Hertz saja. Jadi kenapa manusia yang superkecil, berumur pendek dan berkemampuan terbatas ini bisa begitu sombong, pongah, bising, sibuk sendiri, merasa paling benar, berbuat kerusakan, seolah-seolah hanya diciptakan untuk beroksidasi dan menempati puncak piramida makanan? apa sih yang kita cari di bumi yang fana ini??

Maka wahai monaliza yang jiwanya lemah, kau boleh jadi bukan siapa-siapa, ragamu boleh jadi teramat kecil, tak peduli bahkan jika hanya seukuran quark, tapi jadilah baik, jadilah benar, jadilah peduli, bukankah manusia diciptakan sebagai rahmat bagi seluruh alam?
‪#‎note to my self
continue reading Si Manusia yang Kecil

Sabtu, 23 April 2016

Rohis SMA 1 Kudus 2009/2010

Kami hadir bagaikan benih


Yang bisa disemaikan atau dibiarkan begitu saja

Dan sampailah kami di pot ini

Di pot inilah kami disemai oleh tangan-tangan yang selalu memberi pupuk dan menyirami kami

Yang selalu sabar menanti tumbuhnya kami

Yang rela berkorban saat hujan badai itu datang

Yang dengan telaten mengembalikan benih-benih yang "mental" keluar dari dalam pot ini

Hingga akhirnya kami pun tumbuh bersama

Seiring berjalannya waktu, satu per satu dari kami mulai berbunga

Bunga yang menebarkan semerbak wangi indahnya Islam, bunga dakwah

Satu per satu bunga-bunga kami pun berkembang menjadi buah-buah kebaikan

Yang manisnya dapat dirasakan oleh setiap orang

Namun, banyak dari kami yang layu bahkan mati

Atau pun dipindah oleh tangan lain, ke pot yang butuh untuk diisi

Lama-lama, jumlah kami pun semakin sedikit

Disisi lain, tangan-tangan yang dulu merawat kami harus pergi

Meski jumlah kami tidak banyak, kami harus tumbuh!

Kami harus mandiri!

Kami harus yakin dan saling menguatkan satu sama lain

Kami harus tetap berbunga dan berbuah

Karena dari buah-buah itulah benih-benih yang baru akan muncul dan bersama-sama akan menghasilkan bunga dan buah yang penuh kebaikan

Dalam langkah perjuangan perlu pengorbanan


(Oiya, bacanya monolog di atas sambil dengerin Sebiru Hari Ini-nya Edcoustic ya.. dijamin deh makin merasuk ke dalam hati hehe :p)




***




Tiap orang, pernah mengalami masa-masa imannya naik dan turun, right?

Saya pun begitu hehe *toyor kepala sendiri*... Saya pernah cerita kan kalau saya ini tipe orang yang susah dimotivasi dari luar, harus dari dalam diri saya sendiri. Itu artinya, saya harus punya metode-metode yang bisa memotivasi diri saya sendiri dalam keadaan-keadaan buruk (termasuk dalam keadaan futur iman). Lalu, apakah yang biasanya saya lakukan? Baca buku, mengingat-ingat kembali masa turn on life saya, nonton film *ha?*, buka-buka yutup *ha??*, atau gegoleran guling-guling di kasur *ha???*. Yaaa kan saya yang paling tahu metode yang cocok untuk saya, jangan protes!! :p

Nah pagi ini, saya butuh memotivasi diri saya sendiri. Mulai lah saya buka-buka folder lama, ehh nemu foto pengurus rohis zaman SMA dulu.

Saya pernah membaca, bahwa Siapa dirimu kelak ditentukan oleh dua hal yaitu buku apa yang kamu baca dan siapa teman-temanmu. Saya mulai flashback ke momen-momen waktu 5-6 tahun yang lalu, yang berperan membentuk saya yang sekarang ini. 

Jika diingat-ingat, momen 5-6 tahun lalu adalah zaman-zaman saya SMA. Semasa SMA itu saya mendapat amanah menjadi pengurus harian di tiga organisasi berbeda di tahun yang sama pula. Tulisan ini akan menceritakan salah satu organisasi tempat saya diberi amanah.

Kala itu saya diberi amanah menjadi salah satu pengurus harian Rohis, padahal bila berbicara tentang kualitas diri, sungguh saya tidak berkualitas sama sekali. Saya bukan sok merendahkan diri *karna kenyataannya emang saya rendah, cuma 157 cm. Hiks*. Namun, bila menunggu diri ini berkualitas maka kapan saya akan mulai untuk melangkah di jalan ini, begitu pikir saya. Oleh karena itu, dengan ketidaksempurnaan saya dan rendahnya kualitas diri saya, saya putuskan untuk mencoba, saya putuskan untuk berani menjejakkan kaki di jalan ini.

Di rohis ini, saya bertemu dengan orang-orang yang visioner dengan jalur masing-masing. Kita memang tak punya cita-cita yang sama, tapi kita memiliki semangat yang sama. Dulu ketika SMA mengarahkan diri saya menjadi seseorang yang akan sibuk di dunia pergerakan kampus ternyata benar saya disibukkan dengan aktivitas per-BEM-an dan teman-teman saya yang lain di rohis tersebut memang mengarahkan dirinya untuk bergelut di dunia dakwah kampus dan benar juga mereka menjadi pemegang kunci dakwah kampus mereka masing-masing. Kita saling mengoreksi act and do, saling menyemangati, saling menjadi pundak satu sama lain dan yaaaa … saling memetik hasil ketika kita sudah sampai pada masanya. Itu semua terjadi kurang dari lima tahun dari tahun 2016.

Uji kebenaran terbukti kembali ketika saat ini saya tumbuh di lingkungan para manusia yang dikatakan masa dewasa ternyata saya banyak menemui orang-orang yang gagap dalam berpikir dan gagap menghadapi dirinya sendiri. Banyak fenomena sosial yang saya temui belakangan ini bahwa banyak diantaranya yang mengatur dirinya saja mereka seperti tak kenal kapasistasnya. Walhasil banyak diantara mereka yang akhirnya berpikir “semampu gue” dan ketika mereka melihat saya seolah sedang mengatakan “ga usah muluk-muluk Mon, biasa aja”. 

Disitu saya berpikir apa iya saya terlalu obsesif, tapi ketika saya flashback dan mencoba menyelami kehidupan mereka lima tahun yang lalu. Ternyata saya menemukan perbedaan yang dalam. Diantaranya besar dengan pola mengalir dan mengikuti waktu saja, sedangkan saya hidup dengan mencoba membuat pembelajaran-pembelajaran baru untuk diri saya. Wajar bahwa pola yang berbeda akan mengahasilkan cara berpikir yang beda pula.

Barulah disitu saya menyadari betapa pentingnya waktu yang kita miliki dalam menentukan kita dimasa mendatang. Pentingnya apa yang kita rencanakan hari ini untuk melihat selisih hasil dari rencana kita di masa mendatang. Apakah selisih itu mendekati rencana, jauh di bawah rencana atau melesat diatas rencana. Itu yang perlu kita buktikan di kemudian hari dengan waktu yang kita miliki saat ini.


Mantan dekan saya pernah memberi nasehat ini ketika sambutan zaman saya jadi mahasiswa baru,

“Ketika kita memiliki keinginan kuat dan sedang mengarahkan diri menuju apa yang kita inginkan maka jangan heran jika energi bumi akan membantu kita mendorong terhadap titik yang kita ingin capai”
continue reading Rohis SMA 1 Kudus 2009/2010

Jumat, 22 April 2016

Pada dasarnya jarak hanya ingin menguji ketangguhan dan keseriusan kita terhadap suatu hal.
Mungkin kita yang sedang LDR dengan siapapun yang kita sayangi baik orangtua atau orang terkasih.
Mungkin juga jarak yang jauh dan medan yang sulit untuk sekedar mencari ilmu dalam sebuah lingkaran pekanan. Ya Allah maaf, minggu ini aku izin lagi :'(




Semarang, 23 April '16
continue reading

Ada suatu kondisi dimana kita jalani dulu baru kemudian paham, tidak selalu paham dulu baru menjalani. Jika demikian, maka hidup tak akan pernah secepat ini. Disitu pulalah letak belajar dalam memahami sembari menjalani.Atau tentang, "Yang berbeda, sampai kapanpun tak akan bisa dipaksakan sama. Hanya bisa saling menghormati saja."
continue reading

Senin, 18 April 2016

SUNGAI-SUNGAI

Setiap berkesempatan mendatangi tempat-tempat baru ketika travelling, ada setema pemandangan yang selalu paling berkesan bagi saya: kombinasi kota yang indah dengan sungai yang membelahnya. artistik, berkelas, dan impresif.

Sungai adalah rumah bersalin untuk selanjutnya menjadi nadi yang memberi denyut pada peradaban (gila keren bingit istilahnya).

Di lembah-lembah sungai yang subur, peradaban manusia bertumbuh, ikut subur, maju, dan terang benderang.
Kemudian termahsyurlah kota-kota beradab itu ke seluruh penjuru dunia. Narsis dan benar-benar bersolek. Di bantaran-bantaran sungainya, gedung-gedung indah berbaris-baris, arsitektur terbaik, fasade paling menawan. Lalu kita "dipaksa" mengikuti cruise dramatis mengelilingi kota dari atas sungai untuk sengaja dibuat terkagum-kagum dan memberi pujian.

Sebut saja Seine di Paris yang entah bagaimana komposisi atmosfer dan kelembaban udaranya romantis sepanjang tahun, di bantaran Seine pula kokoh berdiri dengan elegan, ikon wisata paling fotogenik di seluruh dunia: menara Eiffel. Atau Danube yang panjang membentang bersahabat dengan kota-kota cantik di daratan Eropa, atau lembah sungai Nil di Mesir, sungai Thames di London, atau sungai-sungai lainnya.
Ketika sejak berabad-abad silam, sungai-sungai indah tersebut menjadi tempat manusia-manusia hebat berkontemplasi, menemukan inspirasi, dan melahirkan anak pinak karya sastra yang hebat, ada semacam rasa pedih di hati, di saat yang sama menyadari kembali bahwa bahkan sampai tahun 2016 yang mutakhir ini, negeri tempat sungai Musi pernah membawa berkah pada kerajaan Sriwijaya yang ternama, tempat sungai Mahakam yang memberi denyut pada Kutai Kertanegara, tempat terbaring dengan elok Bengawan solo yang adimahsyur, di negeri yang sama, di kota-kota besarnya, anak-anak manusia malah membuang limbahnya ke sungai, limbah pabriknya, membuang apa saja yang bisa dibuang kesana, seolah-olah sungai memang dihadiahkan Tuhan sebagai tempat membuang segala macam sampah. Untuk kemudian, ketika sudah datang bencana, kita semua berebut menghakimi pemerintah dan mempertanyakan rasa keadilan Tuhan. Pedih. Pedih sekali.


-Masih sering datang hujan walau sudah bulan april. Ayoooo jaga lingkungan sekitar dan kesehatan masing-masing ya-
continue reading SUNGAI-SUNGAI

Minggu, 10 April 2016

Sepatu Boot & Oasis

(Fiksi)

Gadis itu berlarian menembus hujan dengan sepatu bootnya. Katanya hujan membuat mood menjadi kendor, membuka pikiran bernostalgia dengan masa lalu. Tapi berbeda dengan gadis satu ini. Ia berlari penuh semangat. Seperti akan mencapai oasis layaknya berhari-hari mengembara di gurun pasir. Lama ia berjalan, oasis tak kunjung nampak. Tetiba ia nampak, oasis ini memperhatikan bootnya yang basah. Ah, gadis macam apa yang tidak bisa merapikan diri. Gadis macam apa pula yang menunggu tapi malah bersembunyi.

Bandung | AN
continue reading Sepatu Boot & Oasis

Kamis, 07 April 2016

K-R-L

Hehe kali ini saya ingin bercerita mengenai KRL dan kejamnya ibukota *tsahhh*. Norak ya? Biarin :p Sebenarnya kejadian ini sudah lama saya alami, sore ini teringat lagi karena teman saya mengirimkan fotonya sedang di dalam KRL pada rush hour haha. Dia yang lebih norak, sudah diantara hidup dan mati, masih saja sempat curhat :3


KRL atau kereta rel listrik atau commuter line atau nama lainnya. Jujur, naik KRL itu enak banget bisa menjangkau segala penjuru Jabodetabek dengan waktu yang singkat (dibanding naik mobil) dan harganya yang sangat murah. Cukup dengan 4000 rupiah sudah bisa menempuh berkilo-kilometer ke tempat tujuan. Saya, mendadak jadi anak gaulnya KRL saat di Bogor, kemana-mana naik KRL. Yang tadinya susah ngehafal rute KRL beserta tempat transitnya dan ahhh itulah pokoknya yang serasa macam jalur cacing tanah meliuk-liuk, ehhh sampai jadi hafal di luar kepala. Gaul kan?
Nah, terus kenapa dengan naik KRL, saya malah membahas kejamnya kehidupan *lebay*. Semua itu terjadi karena pengalaman pertama saya menaiki KRL terjadi di rush hour atau di waktu sibuk. Saya berencana ke Stasiun Senen kala itu, dari Stasiun Bojong. Ngapain ke Senen? Nuker tiket hehe. Ceritanya, saya salah bayar tiket *maklum, kurang AQUWA, jadi nggak fokus*. Aturan belinya Jakarta-Semarang, Semarang-Jakarta. Ehh ini saya belinya dari  Jakarta-Semarang, Jakarta-Semarang. Harus cepat-cepat diganti karena sudah mendekati hari keberangkatan, kalau nggak mau rugi duit makin banyak *perhitungan anak kost*. Kenapa pagi perginya, rush hour pula? Karna dapat izinnya dari Lab nggak lama, jadi harus buru-buru.
Teman saya menyarankan jangan terlalu pagi dan dia mulai bercerita tentang kejamnya KRL di pagi hari terutama dari pukul 6 hingga pukul 8 atau 9. Siap-siap aja masuknya susah, bakal banyak orang-orang yang memaksa masuk, saling mendorong, udah kayak nyawa jadi taruhan, bahkan untuk ngambil sesuatu di dalam tas ransel aja udah nggak bisa karena nggak bisa berbalik badan ke belakang. Sebegitukah? Saya penasaran, sampe-sampe saya googling rush hour krl biar bisa ngebayangin sekejam apa semua ini *muka drama korea*.
Hingga akhirnya tepat pukul 8, saya sampai di stasiun Bojong. Saya cek kembali isi goodie bag saya, oke aman, ada parfum full sebotol. (intermezo: mungkin untuk orang-orang yang mengenal dekat saya, sudah hafal ritual saya jika bepergian ke tempat umum. Minyak telon, minyak kayu putih, atau apalah itu selalu tak pernah ketinggalan. Pas ini kebetulan minyak-minyaknya habis, pagi-pagi ribet kalau harus ke supermarket dulu untuk beli-beli, adanya parfum. Jadi dibawa aja. Saya suka hamburadul sistem otaknya kalau mencium aroma dari banyak orang yang bercampur-aduk. Intinya, saya suka wangi (titik). Biarin juga nggak mandi, asal wangi!! *Muke lu jauh, Mon*)
Kereta tujuan saya akhirnya datang dan kisah ini dimulai. Semua deskripsi yang dikatakan oleh teman saya benar sekali adanya. Bisa masuk saja sudah untung. Jangan harap dapat tempat duduk. Bahkan di perjalanan ada beberapa orang yang tidak bisa masuk karena sudah tidak kuat memaksa dan mendorong orang-orang di dalam kereta untuk lebih masuk lagi. Saya yang mendapat tempat di sudut dekat pintu harus merelakan tubuh kecil ini makin terdorong ke sudut, apalagi di stasiun Manggarai. Semuanya sudah seperti tawuran. “Bu, ada yang keluar dong!” “Ga bisa, ini udah ga cukup lagi!” “Aduh!” “Udah ga bisa masuk lagi!” “Jangan maksa, Bu!” Saya yang berdiri di sudut pintu hanya bisa terdiam mencoba bertahan agar tidak terdorong lebih tersudut, memegang kuat besi panjang yang saya jadikan pegangan sejak saya naik tadi. Ya, dan selama perjalanan itulah saya terus membatin kejamnya Jakarta.
Tadi, sebelum saya masuk ke KRL, saya melihat seorang ibu sedang hamil *melihat dari besar perutnya, kayaknya 7 atau 8 bulanan deh*. Berada di kerumunan orang yang akan masuk ke dalam KRL. Ibu tersebut makin terdorong orang-orang di belakangnya, terhuyung-huyung tidak seimbang. Aduh, kasian pisan euy. Saya *yang belum pernah hamil ini*, mendadak merasakan ngilu pada perut saya. Saya membayangkan jadi bayi di dalam perut si ibu tersebut, mungkin bayinya sedang ngomong, "Ibu gw lagi ngapain sih ini ya Allah :'( Bapak gw kemana lagi kok bisa-bisanya ibu gw dibiarin merasakan kerasnya hidup di KRL." gitu... itu kalau bayinya, saya ya. Perutnya ibu tersebut kegencet-gencet, Ya Allah.. nggak tega banget lihatnya. 
"Ibu, awas Ibu hati-hati, Ibu disampingnya perutnya hamil, kegencet-gencet itu. Ibu hati-hati!", saya berulang-ulang meneriaki orang-orang yang berada di belakang ibu hamil tersebut. Mau menerobos untuk membantu ibu hamil tersebut juga nggak bisa saking rapetnya orang hiks. Dannn, ketika sepulang dari Jakarta, saya menceritakan hal ini kepada teman saya, tanggapannya adalah , "Haha. Gadis norak. Lu pasti langsung ketauan kalo lu orang kampung baru ke kota. Emang lu teriak-teriak ada gitu orang yang peduliin lu? *saya geleng-geleng*. Emang hidup disini gitu kali, Mon."
Ternyata kekejaman ibukota yang saya lihat selama ini mungkin hanya sebagian kecilnya saja. Tidak hanya di jalanan yang memang sudah terkenal dengan macetnya, yang mengharuskan orang-orang bersabar melawan emosinya. Pun ternyata di KRL juga ada, kekejaman lain ibukota yang bisa meningkatkan emosi, berdesak-desakan dengan taruhan nyawa, dan harus terus melatih kesabaran. Hanya demi apa? Hanya demi kepentingan dari masing-masing individu (saya pernah nulis di post saya sebelum-sebelumnya tentang 'Jakarta'). Mungkin ada yang mau kerja, mau sekolah, mau belanja, mau memperbaiki ketidakfokusannya bayar tiket (kayak saya) dan kesibukan lainnya.
Jakarta, ternyata meskipun kau megah dengan banyak gedung tinggi di dalamnya, meski kau terhormat karena menjadi ibu kota negara, meski kau sempurna karena semua orang ingin datang kepadamu tetapi kau menyimpan kekejaman. Kekejaman yang makin menumpulkan rasa kepedulian terhadap sesama. Membuat orang-orang di dalamnya hanya peduli pada diri masing-masing. Yang penting urusanku selesai, yang penting urusanku berhasil, yang penting aku tidak terlambat. Saya ingin mengucapkan ini kepadamu “Selamat atas semua keberhasilanmu, tapi aku mohon jangan kau korbankan manusia di dalamnya untuk tak lagi saling peduli.”

*fix!!! tinggal di desa emang keren!*
continue reading K-R-L

Selasa, 05 April 2016

Irisan Zaman

Pekan lalu pada halaqah, kami membahas mengenai furu'iyah.
Datanglah pretest dadakan dari murabbi kami: "Kita sedang dihadapkan pada perbedaan-perbedaan saat ini. Bagaimana cara kalian menyikapi perbedaan?"
Tik tok tik tok tik tok (cuma terdengar suara detak jarum jam dinding)
" ... "
"Ya dengan tidak memprovokasi terjadinya perpecahan. Jangan saling melemahkan." jawab (sendiri) murabbi kami. *mungkin karena beliau sudah terlalu lama menunggu dalam diam kami heu*
"... (ngangguk-ngangguk)"
*Sebenarnya, ada salah satu contoh yang disebutkan apa yang dimaksud 'saling melemahkan'. Namun, alangkah lebih baiknya tidak saya sebutkan disini hehe. Takut, nanti tanpa sadar ternyata saya melemahkan, nah lhoh. Nggak boleh itu, nggak baik.*


Melihat keramaian berita tentang furu'iyah tiba-tiba tersadar bahwa diri ini hanya krucil kecil penjaga sendal yang asyik membaca buku ketika yang lain sedang syuro kali ya.
Betapapun ramainya berita di luar, kita tidak boleh terlalu lama terjebak dalam prasangka atau keinginan untuk berprasangka. Mari kembali pada kerja yang diamanahkan untuk kita.

Jika dipikir ulang, saya ini sering hadir diantara irisan zaman secara 'nanggung'. Tak cukup dewasa untuk memahami tanda-tanda, juga terlanjur lewat masa remaja untuk mengabaikan arus-arusnya.
Semoga ini berkah bukan musibah. Saya sering menggembirakan sendiri perasaan dengan; bahwa betapa banyak sosok 'nanggung' yang hadir di pentas irisan zaman kenabian dan dicatat dengan tinta emas peradaban. Saya berharap Allah beri saya dan orang-orang 'nanggung' lainnya quwwatun dan fahman sebagaimana sosok-sosok yang datang lebih dulu dari kami itu, meskipun kami tahu betapa jauhnya kapasitas kami dari mereka.

Di irisan zaman yang saya ditakdirkan hadir didalamnya ini, saya sering tak tahu harus berbuat atau bersikap seperti apa. Bekal saya tak banyak, senjata pun tak begitu tajam. Tapi bahkan sekecil semut pun mampu menjadi pemeran penting dalam kisah Sulaiman, Nabiyullah yang diberkahi ilmu dan kekuasaan; pikir saya.

Maka dengan segala ke-'nanggung'-an saya ini, mungkin sementara saya hanya bisa meratib mantra yang saya hafal untuk mengekalkan pertalian yang semakin rentan teriris zaman ini;
Ya Rabb, sesungguhnya Engkau Maha Tahu bahwa hati-hati kami bekumpul diatas kecintaan kepada-Mu, maka kuatkanlah ikatannya, kekalkanlah kasih sayangnya, dan tunjukilah jalan-jalannya. 
Cukuplah satu doa yang terpanjat untuk semua yang di jalan dakwah dengan label apapun. Semoga hati kita senantiasa kuat untuk beramal menyelesaikan kerja-kerja dakwah yang tiada habisnya.



(Beberapa hari ini saya sedang getol nonton TV, terus TV juga lagi getol menontonkan FH dipecat partainya. Alhasil, getol dan getol lalu bertemu (?) Ah sudahlah)
continue reading Irisan Zaman

Sabtu, 02 April 2016

statistics

Bukan pakar, mari sama-sama belajar. Pun bukan ahli, mari saling berbagi | Melangit dan Membumi

Diberdayakan oleh Blogger.

Contact