Kamis, 07 April 2016

K-R-L

Hehe kali ini saya ingin bercerita mengenai KRL dan kejamnya ibukota *tsahhh*. Norak ya? Biarin :p Sebenarnya kejadian ini sudah lama saya alami, sore ini teringat lagi karena teman saya mengirimkan fotonya sedang di dalam KRL pada rush hour haha. Dia yang lebih norak, sudah diantara hidup dan mati, masih saja sempat curhat :3


KRL atau kereta rel listrik atau commuter line atau nama lainnya. Jujur, naik KRL itu enak banget bisa menjangkau segala penjuru Jabodetabek dengan waktu yang singkat (dibanding naik mobil) dan harganya yang sangat murah. Cukup dengan 4000 rupiah sudah bisa menempuh berkilo-kilometer ke tempat tujuan. Saya, mendadak jadi anak gaulnya KRL saat di Bogor, kemana-mana naik KRL. Yang tadinya susah ngehafal rute KRL beserta tempat transitnya dan ahhh itulah pokoknya yang serasa macam jalur cacing tanah meliuk-liuk, ehhh sampai jadi hafal di luar kepala. Gaul kan?
Nah, terus kenapa dengan naik KRL, saya malah membahas kejamnya kehidupan *lebay*. Semua itu terjadi karena pengalaman pertama saya menaiki KRL terjadi di rush hour atau di waktu sibuk. Saya berencana ke Stasiun Senen kala itu, dari Stasiun Bojong. Ngapain ke Senen? Nuker tiket hehe. Ceritanya, saya salah bayar tiket *maklum, kurang AQUWA, jadi nggak fokus*. Aturan belinya Jakarta-Semarang, Semarang-Jakarta. Ehh ini saya belinya dari  Jakarta-Semarang, Jakarta-Semarang. Harus cepat-cepat diganti karena sudah mendekati hari keberangkatan, kalau nggak mau rugi duit makin banyak *perhitungan anak kost*. Kenapa pagi perginya, rush hour pula? Karna dapat izinnya dari Lab nggak lama, jadi harus buru-buru.
Teman saya menyarankan jangan terlalu pagi dan dia mulai bercerita tentang kejamnya KRL di pagi hari terutama dari pukul 6 hingga pukul 8 atau 9. Siap-siap aja masuknya susah, bakal banyak orang-orang yang memaksa masuk, saling mendorong, udah kayak nyawa jadi taruhan, bahkan untuk ngambil sesuatu di dalam tas ransel aja udah nggak bisa karena nggak bisa berbalik badan ke belakang. Sebegitukah? Saya penasaran, sampe-sampe saya googling rush hour krl biar bisa ngebayangin sekejam apa semua ini *muka drama korea*.
Hingga akhirnya tepat pukul 8, saya sampai di stasiun Bojong. Saya cek kembali isi goodie bag saya, oke aman, ada parfum full sebotol. (intermezo: mungkin untuk orang-orang yang mengenal dekat saya, sudah hafal ritual saya jika bepergian ke tempat umum. Minyak telon, minyak kayu putih, atau apalah itu selalu tak pernah ketinggalan. Pas ini kebetulan minyak-minyaknya habis, pagi-pagi ribet kalau harus ke supermarket dulu untuk beli-beli, adanya parfum. Jadi dibawa aja. Saya suka hamburadul sistem otaknya kalau mencium aroma dari banyak orang yang bercampur-aduk. Intinya, saya suka wangi (titik). Biarin juga nggak mandi, asal wangi!! *Muke lu jauh, Mon*)
Kereta tujuan saya akhirnya datang dan kisah ini dimulai. Semua deskripsi yang dikatakan oleh teman saya benar sekali adanya. Bisa masuk saja sudah untung. Jangan harap dapat tempat duduk. Bahkan di perjalanan ada beberapa orang yang tidak bisa masuk karena sudah tidak kuat memaksa dan mendorong orang-orang di dalam kereta untuk lebih masuk lagi. Saya yang mendapat tempat di sudut dekat pintu harus merelakan tubuh kecil ini makin terdorong ke sudut, apalagi di stasiun Manggarai. Semuanya sudah seperti tawuran. “Bu, ada yang keluar dong!” “Ga bisa, ini udah ga cukup lagi!” “Aduh!” “Udah ga bisa masuk lagi!” “Jangan maksa, Bu!” Saya yang berdiri di sudut pintu hanya bisa terdiam mencoba bertahan agar tidak terdorong lebih tersudut, memegang kuat besi panjang yang saya jadikan pegangan sejak saya naik tadi. Ya, dan selama perjalanan itulah saya terus membatin kejamnya Jakarta.
Tadi, sebelum saya masuk ke KRL, saya melihat seorang ibu sedang hamil *melihat dari besar perutnya, kayaknya 7 atau 8 bulanan deh*. Berada di kerumunan orang yang akan masuk ke dalam KRL. Ibu tersebut makin terdorong orang-orang di belakangnya, terhuyung-huyung tidak seimbang. Aduh, kasian pisan euy. Saya *yang belum pernah hamil ini*, mendadak merasakan ngilu pada perut saya. Saya membayangkan jadi bayi di dalam perut si ibu tersebut, mungkin bayinya sedang ngomong, "Ibu gw lagi ngapain sih ini ya Allah :'( Bapak gw kemana lagi kok bisa-bisanya ibu gw dibiarin merasakan kerasnya hidup di KRL." gitu... itu kalau bayinya, saya ya. Perutnya ibu tersebut kegencet-gencet, Ya Allah.. nggak tega banget lihatnya. 
"Ibu, awas Ibu hati-hati, Ibu disampingnya perutnya hamil, kegencet-gencet itu. Ibu hati-hati!", saya berulang-ulang meneriaki orang-orang yang berada di belakang ibu hamil tersebut. Mau menerobos untuk membantu ibu hamil tersebut juga nggak bisa saking rapetnya orang hiks. Dannn, ketika sepulang dari Jakarta, saya menceritakan hal ini kepada teman saya, tanggapannya adalah , "Haha. Gadis norak. Lu pasti langsung ketauan kalo lu orang kampung baru ke kota. Emang lu teriak-teriak ada gitu orang yang peduliin lu? *saya geleng-geleng*. Emang hidup disini gitu kali, Mon."
Ternyata kekejaman ibukota yang saya lihat selama ini mungkin hanya sebagian kecilnya saja. Tidak hanya di jalanan yang memang sudah terkenal dengan macetnya, yang mengharuskan orang-orang bersabar melawan emosinya. Pun ternyata di KRL juga ada, kekejaman lain ibukota yang bisa meningkatkan emosi, berdesak-desakan dengan taruhan nyawa, dan harus terus melatih kesabaran. Hanya demi apa? Hanya demi kepentingan dari masing-masing individu (saya pernah nulis di post saya sebelum-sebelumnya tentang 'Jakarta'). Mungkin ada yang mau kerja, mau sekolah, mau belanja, mau memperbaiki ketidakfokusannya bayar tiket (kayak saya) dan kesibukan lainnya.
Jakarta, ternyata meskipun kau megah dengan banyak gedung tinggi di dalamnya, meski kau terhormat karena menjadi ibu kota negara, meski kau sempurna karena semua orang ingin datang kepadamu tetapi kau menyimpan kekejaman. Kekejaman yang makin menumpulkan rasa kepedulian terhadap sesama. Membuat orang-orang di dalamnya hanya peduli pada diri masing-masing. Yang penting urusanku selesai, yang penting urusanku berhasil, yang penting aku tidak terlambat. Saya ingin mengucapkan ini kepadamu “Selamat atas semua keberhasilanmu, tapi aku mohon jangan kau korbankan manusia di dalamnya untuk tak lagi saling peduli.”

*fix!!! tinggal di desa emang keren!*

0 komentar:

Posting Komentar

statistics

Bukan pakar, mari sama-sama belajar. Pun bukan ahli, mari saling berbagi | Melangit dan Membumi

Diberdayakan oleh Blogger.

Contact