Sabtu, 27 Februari 2016

Tangan Saya Mengandung Magnet Tidak Wajar -_-

Ibu saya, suatu saat pernah berhipotesa bahwa menurutnya tangan saya punya kandungan magnet yang tidak wajar. Kenapa ibu saya sampai pada kesimpulan seilmiah itu? Entahlah, saya juga tidak paham. Hipotesa itu muncul ketika -entah untuk yang keberapa kalinya- dalam suatu masa, saya merusak signal televisi di rumah. Saya juga tidak paham kenapa bisa seperti itu. Yang jelas, beberapa kali ketika saya berniat baik mengganti channel atau merubah volume, yang terjadi adalah layar televisi itu menjadi dimonopoli oleh semut-semut hitam putih. Pada saat itu, menyimpulkan bahwa “ini semua karena saya manis” adalah sangat tidak dewasa dan tidak punya landasan ilmiah, maka saya menerima mentah-mentah hipotesa ibu saya.


Ibu saya memang punya data kuat untuk hipotesanya. Saya punya catatan panjang pengalaman buruk bersama barang elektronik. Sebut saja, televisi naas tadi, atau handphone saya yang sering rusak, atau entah berapa kali bapak saya harus membetulkan charger saya yang rusak, dua laptop remuk redam dalam waktu satu tahun.

Dengan segala kerendahan hati, saya mengakui bahwa tangan saya memang sedikit hyperaktif destruktif. Sadar atau tidak sadar. Dan sadar atau tidak sadar pula, ini menyusahkan saya. Karena ini menyangkut image saya. Ya. I-M-A-G-E! image sebagai muslimah yang lembut *PLAKK!*bahkan lebih dari itu.

Begini contohnya,

Sewaktu saya berniat baik menawarkan diri membetulkan headset seorang kakak yang rusak, sebut saja kak Al. dia harus menelan pil pahit. Bukan. Bukan karena dia jadi tiba-tiba terserang malaria gara-gara saya membetulkan headsetnya, hingga dia harus menelan pil pahit. Yah, ini adalah istilah dalam bahasa nasional, yang karena saya baik, maka saya gunakan dan lestarikan sebagai bentuk kecintaan saya pada negeri ini. Walaupun jujur, istilah ini tidak bisa diterima logika saya. Ah, jadi ngelantur kemana-kemana. Intinya, kakak tadi harus kecewa, karena saya malah membuat headsetnya lebih rusak lagi. Dan di saat headsetnya rusak untuk kedua kalinya, dia sudah lebih bijak dan tau siapa yang bisa dan tidak bisa dipercaya. Huks.

Atau ketika saya masih duduk di bangku SMA, beberapa saat setelah handphone saya yang baru berumur 3 bulan harus mati total setelah berendam dalam minuman isotonik. Waktu itu saya ingin meminjam sebentar handphone teman sebangku saya, hanya ingin melihat-lihat. Dan teman saya itu, yang saya tau dia sangat baik, karena dia adalah tetangga saya, teman saya sejak SMP, secara reflek melakukan gerakan melindungi handphonenya dan dengan sungguh-sungguh berkata “nggak, ntar rusak”. Saat itu saya merasa seperti bocah kecil yang sengaja dijauh-jauhkan dari barang elektonik oleh orangtuanya. Dan saya bisa mengambil hikmah kenapa di beberapa produk komersil tertentu sengaja diselipkan tulisan “jauhkan dari jangkauan anak-anak”. Huks. Yah, saya mencoba menerima kenyataan bahwa respon teman saya adalah wajar, mengingat saya memang terlalu banyak bereksperimen dengan handphone, sengaja atau tidak. Menyimpannya di kulkas hingga berembun, mengolesinya dengan lotion antinyamuk hingga catnya mengelupas, dan lain-lain.

Begitulah beberapa contohnya. Pasti Anda jadi bertanya-tanya kenapa saya menceritakan ini, dan apa pentingnya saya menceritakannya?

Kenapa? karena setelah membereskan kamar kosan, saya berhasil mengumpulkan : 4 charger sams*ng rusak, 1 lampu emergency rusak, 1 headset pecah, serta 1 colokan terminal rusak dengan kondisi lampu indikator nyusruk. Saya jadi nostalgia masa lalu deh.

Lalu, apa pentingnya saya menceritakan ini? Tentu saja, agar Anda semua alert, bahwa di sekeliling Anda, bisa saja terdapat orang-orang yang potensial merusak barang-barang elektronik Anda, maka berhati-hatilah, jaga selalu barang kesayangan Anda^^

Dan pada akhirnya, saya memilih untuk mempercayai hipotesa ibu saya. hoho

0 komentar:

Posting Komentar

statistics

Bukan pakar, mari sama-sama belajar. Pun bukan ahli, mari saling berbagi | Melangit dan Membumi

Diberdayakan oleh Blogger.

Contact