Senin, 22 Februari 2016

Pohon Kersen

Hanya dalam satu dekade, zaman telah berubah banyak. Saya merasa sangat tua jika membandingkan masa kecil saya dengan anak-anak sekarang. Seperti terpisah beberapa generasi (terlepas dari efek menghabiskan masa kecil di pelosok). Sekarang anak-anak lebih banyak menghabiskan waktu di depan komputer, mengeksis di jejaring sosial, menggarap game online atau apalah. Yang jelas bukan bermain engklek. Bukan menangkap ikan-ikan kecil di selokan. Bukan main masak-masakan. Bukan hujan-hujanan atau main tanah. Apalagi bergelantungan di pohon. Menyenangkan. Seperti tarzan.


Adalah saya. Yang seperti tarzan itu. Saya kecil, yang setelah pulang sekolah langsung memacu sepeda kecil saya, berkeliling-keliling kampung dengan anak-anak tetangga. Berburu pohon kesenangan kami. Memanjati dahan-dahannya, memetik satu-satu buahnya yang ranum.


Ia adalah pohon masa kecil saya. Orang-orang menyebutnya kersen. Ada juga yang menyebutnya seri. Pohonnya rendah, daunnya kecil-kecil dan rindang. Hingga biasanya perdu ini jadi pohon untuk berteduh. Di beberapa sela tangkai daunnya muncul bunga putih kecil atau buah hijau kecil. Jika matang, buah itu akan berwarna kekuningan mengkilat dan lama-lama menjadi merah segar. Burung-burung vegetarian (?) gemar memakan buah kersen karena rasanya yang manis. Burung-burung yang –maaf- punya hobi buang kotoran sembarangan ini punya andil besar hingga pohon kersen bisa tumbuh dimana saja. Di pinggir jalan. Di hutan. Di selokan. Di pinggir kali. Bahkan di pinggir tebing atau di lembah yang sangat curam *sotoy*.


Entah kenapa saya merasa pohon kersen terlihat ramah dan bijak (?). Ia tipikal pohon yang dicintai anak-anak (?). Aromanya yang khas selalu mengingatkan saya pada masa kecil, saat saya masih imut-imut. Bentuk dahannya yang bersahabat seperti sengaja diciptakan untuk memfasilitasi hobi anak-anak yang kurang beradab: memanjat dan bergelantungan. Batangnya terlihat rapuh, tapi cukup kuat untuk menahan tungkai-tungkai kecil kami yang menitinya, lebih dari kuat untuk menahan lengan-lengan kami yang berayun-ayun dibawahnya. Kadang dahannya berderak, menurut saya ini caranya mengapresiasi hobi kami, semacam bentuk rasa hormat, maka kami akan semakin menjadi-jadi. Apalagi saya pribadi selalu merasa tertantang meraih buah kecil merah yang biasanya terdapat di ujung dahan. Dalam keramahannya, saya merasa pohon kersen seperti sedang mengajari saya untuk pantang menyerah (dan menjaga keseimbangan tubuh. haha).


Kami memetik satu per satu kersen yang matang. Dengan riang gembira penuh suka cita. Seolah kersen adalah makanan pokok. Kami tidak langsung memakannya, tapi mengantonginya lebih dulu. Dan sesi terakhir dari pesta kersen adalah mengumpulkan hasil petikan kami di bawah pohonnya. Lalu membaginya sama banyak. Tak peduli siapa yang memetik lebih banyak. Pertama, membagi yang berwarna merah, kemudian yang kurang merah, hingga yang berwarna kekuningan. Jika berlebih, maka kersen itu diberikan untuk yang lebih lihai memanjat. Begitulah aturannya. Dalam keramahannya, saya merasa pohon kersen seperti sedang mengajari saya untuk berbagi, mengajari saya rasa tulus, mengajari saya kesetiakawanan. Kersen memang pohon yang bijak. (?)


Karena obsesi saya pada pohon kersen, saya pernah menanamnya di belakang rumah. Tapi pohon itu tak sempat berbuah. ia harus luluh lantak saat ada pembangunan. Sejak beranjak SMP, saya sudah meninggalkan hobi berburu kersen. Sensasi berburu kersen hidup lagi ketika saya menginjak kampus. Beberapa pohon kersen tumbuh di sisi masjid fakultas tempat saya belajar *sayangnya posisi tumbuhnya si pohon berada di area (tempat sholat bagian) ikhwan*. Begitu menggiurkan. Entah kenapa saya merasa ia tumbuh di tempat yang salah. Seperti kesepian di tengah keramaian. Tiap hari memang banyak mahasiswa yang lalu lalang, tapi siapa yang peduli padanya? Ia mungkin saja rindu dihinggapi anak-anak. Rindu tungkai-tungkai kecil menginjaknya. Rindu mendengar tawa anak-anak yang bahagia memetik buahnya. Ia benar-benar tumbuh di tempat yang salah hiks...


Saya mengerti kerinduannya, maka setiap kali saya lewat samping masjid fakultas, saya selalu celingukan ke arah dahan-dahan atas pohon kersen tersebut untuk sekedar mengintip kalau-kalau ada buahnya yang ranum dan memetiknya.


"Heh, mata kemana mata heh!!" cerocos teman saya suatu kali ketika saya berjalan sambil mengamati dahan kersen. Dia (sebut saja) Tara Tara. Dia baru pertamakali berjalan bersama saya melewati pohon tersebut, baru pertamakali ini pula dia mengetahui kebiasaan saya ber-celinguk-an tiap lewat pohon kersen samping masjid.

"Apaan sih Tar!" Balas saya sambil mengibaskan tangannya yang mencengkeram bahu saya.

"Waduhhh ketauan nih anak. Lu lagi liatin ikhwan-ikhwan di masjid ye. Parah lu!!" kata Tara Tara.

"Astagfirullah.. kagak lah, busettt dah. Lu suudzon mulu deh. Mending-mending liatin pohon kersen deh, ga empet. Gw pengen buah kersennya Tar," jawab saya.

"Lhah?! Dasar... mana bisa metik buah di pohon kersen area (ikhwan) begitu. Ckckck," Tara Tara terkekeh.

"Ya makanyaa gw cuma bisa ngeliatin kersen itu doang. Ga mungkin juga gw bisa metik, panjat-panjat, loncat-loncat di area rawan hiks. Bisa hancur lah reputasi gw sebagai salah satu anggota geng anggun (ini geng khayalan saya kalik ya -,- mana ada perempuan macam begini kok anggun)," kata saya.

"Lu pengen kersen? Tenangg.. ntar habis kelas ini ikut gw. Gw tau tempatnya. Dan yang pasti, aman!! Serah lu mau panjat-panjat dah," kata Tara Tara

Hari itu, di kelas saya belajar dengan semangat. Berasa di buku diktat kuliah ada gambar kersennya haha.

(Selesai kelas)

"Ayo Mon. Kita ke kebun biologi," kata Tara Tara.

Terakhir kali saya masuk kebun biologi itu ketika praktikum semester awal-awal. Apalagi kalo bukan untuk menjebak semut *kadang, ehh kebanyakan ding... praktikum anak biologi disinyalir sebagai kegiatan yang absurd bagi jurusan lain. Yakaliii semut aja dijebak, hati-hati sama hatimu ya, kalo-kalo dijebak anak biologi juga #ehlhoh*. Kebun biologi ini letaknya diantara lab biologi dan lab fisika, di depan masjid fakultas. Seperti bukit (lebih tinggi dari daerah sekitarnya), jadi kita bisa leluasa melihat sekitar kita dari kebun tersebut, namun orang-orang di sekitar tidak bisa melihat kita yang berada di kebun. Cocok lah tempat ini!!

Setelah hampir lama merunduk-runduk sambil berjalan. Ketemu lah pohon kersennya!! yeayy. Pohonnya tidak terlalu tinggi (setidaknya, dengan berjinjit saja saya bisa meraih dahannya. *ha? apa? itu pendek banget nget nget berarti pohonnya, kamu kan pendek Mon. hiks*. Setelah saya mengantongi banyak buah kersen dan (langsung) memakannya. Tara Tara mengenalkan pohon baru kepada saya.

"Mon, doyan markisa?"
"Doyan dong Tar. Markisa yang sirup itu kan?" jawab saya.
"Dasar anak kampung. Pasti nggak pernah makan buah markisa langsung yang dipetik sendiri kan?" ejek Tara Tara.
*dalam hati saya berkata, "Saya? Anak kampung? yang bener aja dong... lihat saja setelah ini saya akan buktikan. Kalo ketemu pohon markisa saya akan makan semua buahnyaaa."*
Kami berjalan merunduk-runduk lagi, maklum, kebun ini didominasi dengan perdu. Saya mengekor saja di belakang Tara Tara.
Dan eng ing engggg... Ada satu pohon yang bercahaya bak melihat pohon emas di mata saya *lebay*. Pohon yang batang utamanya bengkok ke arah kiri, banyak bergelantungan buah berwarna kuning lemon, buahnya bulat sekepalan tangan orang dewasa *searching saja ya kalau deskripsi saya belum nyantol di bayangan hehe*.

Saya masih saja berdiri di bawah pohon markisa, terbengong-bengong *maklum anak kampung. Taunya buah markisa sudah dalam bentuk sirup saja. Apalagi pohonnya, beuhh*

Teriakan Tara Tara membuyarkan bengongan saya,"Mon cepet ambilin buah markisanya, ambilin yang tidak busuk ya," ucap Tara Tara sambil mengangkat dua buah markisa tinggi-tinggi.

"Tidak usah ambil yang masih di pohon. Yang jatuh di pohon ini masak pohon. Jadi enak, manis." lanjutnya.

"Tar, gw udah dapat banyak nih, tas gw udah nggak cukup. Udah yuk, ayo," ucap saya

"Ayo kemana? Kita makannya disini aja biar nggak ketauan," jawab Tara Tara.

"Ha? Apa? Maksudnya apa? kok 'biar nggak ketahuan', jadi ini kita mencuri ya Tarrr??? kok takut ketahuan." ucap saya.

"Idih odong. Engga lah... ini kan pohon semua orang. Kita makan disini aja. Di bawah pohonnya. Gw tau, lu pasti nggak pernah kan makan kayak gini. Kenikmatannya bakal beda Mon," jawab Tara Tara.

Lalu kami terbahak-bahak bersama, ini kelakuan mahasiswa lhoh, tingkat tiga. Ahh betapa kekanak-kanakannya kami (di umur yang tua)...

Kami berdua duduk sembarangan di bawah pohon markisa. Saya masih diam menggenggam satu buah markisa, dan memerhatikan Tara Tara. Setelah buah markisa dicuci dengan sisa air putih bekal kami dari kosan tadi, Tara Tara mengajari saya membuka buah markisa. Digencet pakai kedua telapak tangan, lalu air isi buahnya dihisap dan daging buahnya gunakan fungsi gigi anterior. Gigitan pertama membuat saya mengeryitkan dahi dan memejamkan mata. Ini asam sekali sumvah -,- tapi enak hehe, jadi dilanjutin makannya sampai semua buah yang kita kumpulkan habis.

Tara Tara bilang, dulu sewaktu dia kecil, dia sering melakukan hal ini di hutan (hahaha nggak ding, becanda. Di kebun yang hampir ke hutan katanya). Ahh saya agak lega, berarti saya tidak terlalu freak lah ya zaman kecilnya suka panjat-panjat pohon. Bisa jadi, yang hits di tahun-tahun bermain anak-anak (yang katanya angkatan 90an) ya macam apa yang saya dan Tara Tara lakukan hehe.
Sekarang Tara sudah lulus, sudah kembali ke kampung halamannya di luar Jawa. Mungkin dia sekarang sering memungut markisa di bawah pohonnya di dekat rumahnya, Jambi. Sedangkan saya? hehe.. saya masih mengambil kersen dan makan markisa juga di kebun biologi.



(Balik ke cerita kersen). Saya sedih jika anak-anak tak lagi mengenalinya, jika pembangunan semakin tak manusiawi, semakin banyak tanah-tanah yang dibeton hingga ia tak dapat tumbuh. Semoga suatu saat saya punya halaman belakang yang luas hingga ia, pohon masa kanak-kanak saya, bisa tumbuh bebas dihinggapi anak-anak. Tetap mengajarkan untuk pantang menyerah, mengajarkan berbagi, mengajarkan rasa tulus, mengajarkan kesetiakawanan, mengajarkan untuk cinta lingkungan dan menjaga keseimbangan ^^

0 komentar:

Posting Komentar

statistics

Bukan pakar, mari sama-sama belajar. Pun bukan ahli, mari saling berbagi | Melangit dan Membumi

Diberdayakan oleh Blogger.

Contact