Saya melihat perbedaan yang lebar antara saya dan adik cowok saya ketika kami menonton pertandingan bola di televisi. Saya pikir semua laki-laki akan seperti adik cowok saya yang ber”arrghh” ria ketika si pemain gagal mencetak gol. Tapi saya pun sebenarnya juga ikut ber”argh” ria di samping adik cowok saya walaupun –tentu saja- saya tidak mengerti apa-apa. ~.~.
Lebih jauh, saya tidak ingin terjebak dalam inefisiensi fenomena emosi yang semu(?), yang mana saya sangat paham bahwa tidak ada dampak signifikan pada diri saya ketika bola itu memasuki gawang atau tidak. Tringgg. Aha! Sebuah bohlam 18 watt hemat listrik dan ramah lingkungan(?) menyala dalam otak saya. Saya menyadari sesuatu yang brilian, bahwasanya saya sangat keren, dan si adik cowok saya harus belajar banyak dari saya bagaimana mengatur emosinya saat menonton bola. *perbanyakistighfarmon*
Sepertinya bagi semua maniak bola pertandingan bola adalah soal gol dan tidak gol. Menang dan kalah. Jika satu pihak hanyut dalam euphoria kemenangan hingga mungkin bakar petasan tujuh hari tujuh malam. Maka pihak lain hanyut dalam duka cita yang mendalam, bahkan tak jarang bertindak anarkis sebagai bentuk kekecewaan. Namun, ada pihak yang seperti saya. Yang ketika menonton bola paling banter memberi komentar ngasal seperti ini: “Komentatornya kok ngomong mulu sih dek? Kan berisik yak..” atau “Itu rumputnya beli dimana ya dek kira-kira? Bagus ya” atau “Tsubasa ngga main ya dek? Dek.. dek… Tsubasanya mana dek?”. Ketahuilah, saya tidak sampai hati memberi komentar pada pemain bola. Bagaimana tidak, kasian sekali mereka itu. Siapa yang tidak akan lelah berlari-lari dalam lapangan seluas hampir 5000 meter selama 2×45 menit? Yang kalau saya dipaksa melakukan hal yang sama, keputusan saya sudah bulat, saya akan langsung pura-pura pingsan saja. Lalu kalau gagal mencetak gol, mereka akan disumpah serapah dan dikatai tidak becus oleh orang-orang yang sangat besar kemungkinan diragukan kebecusannya. Karena kalau mereka becus, maka tentu saja mereka telah menjadi pemain bola. Bagi orang-orang itu, si pemain bola adalah satu-satunya yang bertanggung jawab atas semua galat yang ada, hingga mereka menjadi pantas untuk dicaci. Mengenaskan sekali. Makanya saya selalu tidak tega kalau menonton orang yang menonton bola(?).
Beberapa waktu ini saya (dan kami, yang sudah purna amanah di kampus) mendapat banyak gempuran dari beberapa pihak tertentu, baik via pesan pribadi ataupun di grup-grup yang menampakkan keberadaan kami hehe. Puncaknya adalah ketika kemarin, tanggal 2 Mei, ada salah satu kampus tetangga yang sedang melakukan #pestarakyat #bUKTicinta nya yang mendulang banyak massa kampus tersebut jadi buah bibir dan ke-iri-an mahasiswa-mahasiswa di kampus lain. Disebut-sebut, gerakan tersebut terinspirasi dari pergerakan sebelumnya yang dilakukan mahasiswa di salah satu kampus yang ada di semarang. Lalu kenapa ada gempuran dari pihak-pihak tertentu kepada kami ini? Pasalnya, perjuangan tersebut malah menimbulkan suatu konflik. Nah, saya (dan kami) yang sudah purna saja digempur-gempur begini. Bagaimana yang sedang memegang amanah saat ini... semoga Allah selalu memampukan kalian ya adik-adik yang ganteng-ganteng nan cantik-cantik.
Ah saya jadi teringat seseorang yang sedang 'duduk' disana (untuk selanjutnya kita sebut saja dengan si X). Jelas dia memiliki kuasa di lembaga mahasiswa. Tapi nasibnya mirip-mirip pemain bola. Dalam pandangan saya, bagi sebagian rakyatnya, si X seperti sengaja diciptakan sebagai entitas yang menjadi faktor tunggal penyebab ketidakteraturan kosmik. (?) Semua kesalahan bersumber darinya. Jika pemerintah atau kebijakan kampus tidak becus, tentu saja salah si X. Tawuran saat pekan olahraga mahasiswa, proses audiensi yang lama, nurunin massa aksi yang tidak bisa sebanyak rakyat Indonesia, menggratiskan akomodasi aksi. Bahkan, jika terjadi banjir atau gempa, tunjuk saja hidung si X walaupun si X bukan pawang hujan apalagi pawang gempa. Pokoknya apapun yang berjalan tidak dengan semestinya, maka si X lah yang patut bertanggung-jawab. Jangan-jangan jemuran ilang juga nyalahin si X. Makanya tidak heran tak akan ada aksi mengapresiasi. Dan sejauh ini, sepanjang sejarah sejak berdaulatnya Negeri, belum ada yang mau berbaik hati melakukan aksi mengapresiasi seperti itu untuk pemimpin (di lembaga mahasiswa) yang sedang berjalan. Yang terjadi adalah kecaman demi kecaman.
Si X seperti tumbal yang terjebak dalam labirin kutukan manusia sepanjang sejarah bahwa pemimpin yang lalim adalah tradisi. Dan kelaliman, daripada negasinya, adalah lebih populer dan lebih mudah diingat. Maka dengan melihat 'keramaian' yang sejenak berhenti saja cukup bagi siapa saja membuat kesimpulan bahwa si X telah mengkhianati rakyat. Sekali lagi, si X seperti terjebak dalam doktrin sejarah. Saya juga berimajinasi membayangkan si X menjadi Pharaoh yang dengan bala tentaranya mengejar pasukan Musa. Kemudian si penguasa bernasib sial tenggelam dalam Al-Bahr Al-Ahmar, Erythra Thalassa, atau kita sendiri menyebutnya Laut Merah. Otak kacau saya juga membayangkan bahwa lelaki Ephesus yang disebutkan dalam Taurat, yang kemudian kisahnya didetailasi dalam Al-qur’an, yang mana mereka mengasingkan diri ke dalam goa hingga tertidur ratusan tahun disebabkan karena mereka stress dengan kepemimpinan pemimpinnya.
Si X oh si X. Saya sedang mencoba melihat si X dengan setting yang berbeda. Si X sebagai manusia biasa, yang punya tanggal lahir (?), yang perlu sikat gigi setiap hari, yang mungkin alergi debu, yang bisa saja takut kucing, yang pernah dalam suatu masa kehabisan pulsa, yang pernah digigit nyamuk, yang pernah makan mie instan, yang pernah mengalami sindrom malas mandi, yang mungkin suka menyanyi di kamar mandi, yang memakai minyak kayu putih jika masuk angin, yang sayang pada keluarga, yang punya mimpi besar, yang punya cita-cita, yang ingin berbuat banyak, yang butuh dimengerti, yang butuh didukung, yang suka apresiasi, yang meneteskan air mata pada saat-saat krisis, yang pernah menyesal, yang kadang bisa salah. Iya, yang kadang bisa salah. Persis. Seperti Kita. Namun, besar kesalahan mengikuti kapasitas pembuat kesalahan. Kesalahan yang sama bisa berdampak berbeda terhadap pembuat kesalahan. Saya buang ingus saat rapat mungkin hanya mengakibatkan sebagian orang kehilangan nafsu makan secara permanen. Namun, jika si X yang melakukannya, esok harinya bisa jadi ia dikudeta.
Oh ya ampun. Jangan hakimi saya. Saya tidak sedang pro atau kontra. Saya hanya sedang mencoba melihat dari sisi lain. Pada lapisan lain, bukan lapisan polar pro-kontra. Saya hanya sedang melihat seorang Adik yang mungkin cukup letih dan bosan dengan rutinitas dan segala komentar yang ia terima, yang pasti dalam hatinya ada kebaikan, yang adalah manusia biasa yang bisa salah. Saya hanya tidak ingin bersikap apriori karena sesungguhnya saya tidak lagi terjun ke medan lapangan saat ini dan saya tidak mengerti banyak hal. Yang saya mengerti hanyalah bahwa si X dan saya sama-sama memiliki hak dan kewajiban. Dan kewajiban saya adalah menjadi warga yang baik hingga saya pantas mendapat pemimpin yang baik.
Semangatttt, ayo lebih giat, semoga sukses dunia akhirat ^_^
Apabila menerima teguran, tidak usah langsung melenting dan berkelit. Bersyukurlah masih ada yang menegur, berarti masih ada yang memerhatikan kita. Semoga kita semua selalu dapat menjaga ego dan emosi...
Apabila menerima teguran, tidak usah langsung melenting dan berkelit. Bersyukurlah masih ada yang menegur, berarti masih ada yang memerhatikan kita. Semoga kita semua selalu dapat menjaga ego dan emosi...
0 komentar:
Posting Komentar