Minggu, 15 Mei 2016

Senja di Kereta

Terakhir kali bidadari menolehkan pandangannya ke semesta, ia membuat langit senja bulan Mei malu-malu. Mei memang sedang dalam dilemma. Beberapa hari berturut-turut ia persilahkan Hyang Arka menerik sangar, membakar punggung tangan, bahkan terkadang serasa mendidihkan darah di kepala. Tapi beberapa kali, dijamunya awan-awan hujan. Diturunkannya kristal-kristal air bening, menyapu debu-debu di jalanan, dan membasuh bumi dari jelaga tebal. Lalu aku, kembali lebur dalam kontemplasi.

Sepanjang hari, semesta selalu saja punya banyak hal indah untuk disyukuri. Semesta selalu saja punya banyak misteri, membuat takjub dan menggoda rasa ingin tahu. Ah, semesta selalu saja punya trik.. lagi dan lagi, karenanya aku angkat tangan, aku kalah, aku tertawan, aku terpikat, aku jadi pecandu.

Tidak ada yang lebih menarik daripada menikmati perubahan entropi alam raya, setiap detailnya. Dan gara-garanya, aku jadi terlalu sering jatuh cinta. Pada langit dan perhiasannya, pada bulan Mei, pada bianglala, pada bunyi air yang mengalir, pada kerisik daun-daun ditingkahi angin, pada bau rumput, pada eksotisme hujan, pada laut luas yang terlihat bangkang, pada garis pantai, pada cara serangga terbang di udara, pada senyum orang-orang yang mencintaiku, pada resonansi, pada cara kilat mendahului petir, pada cuaca, pada sensasi rasa senang yang unik -yang hanya akan ada setelah membuat orang lain senang-.

Aku jatuh cinta pada cara orang-orang mengangkat tangannya kemudian berdoa, pada antusiasme orang-orang yang merapatkan shaf, pada cara anak kecil memandang hidup, pada cara ibuku menanyakan kabar, pada layang-layang putus *ini ga ngerusak flow kan?*.Hmm..aku jatuh cinta pada detail-detail alam raya, pada segala hal.

Dan entah kenapa, senja selalu saja indah untukku. Langitnya selalu saja indah. Menurutku, paduan warna langit senja dengan sangat intimidatif, tanpa bisa kujelaskan, selalu mampu membangkitkan unsur-unsur melankolik dalam ruhku. Langitnya selalu saja menawan, jingga. Jika awan-awan adalah istana, maka Cumulus senja adalah istana dengan fasade paling angkuh yang pernah ada. Peri-peri mungkin jadi terlalu sibuk merayu mega-mega itu untuk mau ditata. Mereka berangkat dari kaki langit, menerjemahkan romantika dalam stratum warna-warna, mendandani sebujur langit dalam dominasi jingga, hingga pada akhirnya terbingkailah lukisan mahakarya Tuhan di petala langit senja. Sebentar saja, warna-warna itu semakin menua, untuk kemudian malam menggulungnya. Dan tak harus menunggu lama, atas kuasa Pencipta Masa, Mei akan kembali melahirkan hari baru…

Lalu di antara sendu senja dan fenomena pergantian masa, ada saat-saat dimana aku ingin sekali percaya, bahwa jasadku tidak akan sekedar jadi beban alam semesta, bukan cuma residu. Semoga aku memberi nilai tambah, memberi kebermanfaatan, membuka peluang kebaikan untuk orang lain…aamiin.Allahumma aamiin.


Senja di kereta Bogor-Jakarta, 14 Mei 2016.
~Suara itu datang kembali. Bertanya mengusik hati. "Yakin mau ambil hidup yang hanya seperti ini? Lahir, berkembang mendewasa, sekolah, kerja mengumpulkan pundi-pundi, berkeluarga, lalu mati?". Ya aku mengenal suara itu, suaraku sendiri~

0 komentar:

Posting Komentar

statistics

Bukan pakar, mari sama-sama belajar. Pun bukan ahli, mari saling berbagi | Melangit dan Membumi

Diberdayakan oleh Blogger.

Contact