Sejak mendengar hasil referendum bahwa Inggris memilih untuk keluar dari Uni Eropa menyusul referendum dengan hasil 52% untuk berpisah dan 48% tetap bergabung. Saya jadi penasaran, apakah Brexit ini akan membuat Britania Raya terpecah hehe... dan pagi ini menemukan artikel dari Vishnu Juwono.
Jadi, amankan!!! hehe
***
Uni Eropa (UE) diinisiasi oleh Prancis dan Jerman melalui Perjanjian Roma
pada 1957 untuk membentuk pasar bersama bagi keenam negara penggagas.
Pembentukan UE didasari rasa trauma akan korban Perang Dunia II yang begitu
besar. Argumen utama para penggagas UE adalah, dengan semakin terintegrasinya
ekonomi negara-negara anggota, risiko terjadi perang antarnegara semakin kecil
karena kepentingan ekonomi.
Hingga kini, sudah ada 28 negara yang tergabung dalam UE dengan total
penduduk sekitar 500 juta. Inggris menjadi anggota EU pada 1973, tapi mampu
menegosiasikan beberapa ketentuan. Di antaranya untuk tetap dapat menggunakan
mata uangnya sendiri, pound sterling, dan tidak terikat oleh perjanjian visa
Schengen.
Menghadapi pemilihan umum 2015 untuk kembali menjadi Perdana Menteri (PM)
Inggris, David Cameron berupaya merangkul kelompok yang bersikap anti-UE di
dalam partainya, Konservatif (Tories). Dia menjanjikan referendum digelar
sebelum akhir 2017 untuk menentukan apakah Inggris bertahan atau keluar dari UE
(Brexit) apabila partainya memenangi pemilihan umum secara mutlak. Saat itu,
Cameron tidak yakin bahwa Tories bisa menang mutlak. Namun, di luar dugaan,
Tories meraih 330 dari 650 kursi di parlemen. Akibatnya, Cameron, yang
mendukung Inggris tetap berada di UE, ditekan oleh faksi Brexit di partainya
untuk mengadakan referendum.
Dalam kampanye referendum, lagi-lagi Cameron tidak memperhitungkan sentimen
masyarakat Inggris Raya yang sudah bergeser, terutama di luar Kota London dan
Skotlandia. Akibatnya, dalam referendum pada 23 Juni lalu yang diikuti oleh
lebih dari 30 juta penduduk Inggris Raya, 52 persen memilih keluar dari UE.
Profesor ekonomi dari Columbia University, Jeffrey Sachs (2016), berpendapat
bahwa hasil Brexit menunjukkan fenomena kemarahan kelas pekerja Inggris
terhadap arus imigran yang tidak terkendali serta antipati terhadap kaum
jutawan yang tinggal di London. Adapun peraih Nobel Ekonomi, Joseph Stiglitz
(2016), melihat kemarahan kaum pekerja juga disebabkan oleh kesalahan dalam
pengelolaan ekonomi di UE yang membuat ketimpangan ekonomi antara yang miskin
dan kaya semakin lebar.
Dengan kekalahan dalam referendum UE tersebut, Cameron dipaksa mengundurkan
diri dari kursi PM. Bahkan saat Menteri Dalam Negeri Theresa May maju menjadi
calon tunggal PM, akhirnya Cameron mempercepat penyerahan kekuasaannya dari
yang direncanakan pada Oktober menjadi pada 13 Juli lalu.
Theresa May, perdana menteri wanita kedua Inggris setelah Margaret Thatcher,
bergerak cepat mengkonsolidasikan kekuasaannya dengan merombak total kabinet.
Walaupun mendukung kampanye Inggris bertahan di UE, May ingin menunjukkan
komitmennya dengan menegaskan bahwa "Brexit adalah Brexit". Selain
itu, ia mengangkat pendukung utama Brexit ke posisi di kabinet yang kelak
bertanggung jawab dalam proses negosiasi keluarnya Inggris dari UE. Antara lain
Boris Johnson sebagai Menteri Luar Negeri dan David Davis sebagai menteri yang
menangani urusan Inggris keluar dari UE.
Implikasi langsung peristiwa Brexit bagi Indonesia masih belum terlalu
terlihat. Saat David Cameron terpilih kembali sebagai perdana menteri pada
2015, hubungan bilateral Indonesia-Inggris sebenarnya sedang baik-baiknya.
Cameron memilih Indonesia sebagai lokasi kunjungan luar negeri pertamanya
bersama 31 pemimpin perusahaan Inggris. Salah satu agenda kunjungan tersebut
adalah membahas penyediaan biaya proyek infrastruktur di Indonesia sebesar 1
miliar pound sterling.
Pemerintah Theresa May diperkirakan banyak disibukkan oleh proses negosiasi
terkait dengan keluarnya Inggris dari UE, tidak seperti Cameron. Terlebih lagi
Menteri Pertama Skotlandia Nicola Sturgeon memperingatkan bahwa ia akan
mempertimbangkan pelaksanaan referendum bagi Skotlandia untuk independen pada
2017 karena 62 persen warga Skotlandia memilih bertahan di UE. Maka, May akan
disibukkan juga oleh negosiasi domestik dengan Skotlandia, dan kemungkinan
besar Irlandia Utara, untuk menyelamatkan integrasi Inggris Raya.
Selain itu, peristiwa Brexit sepertinya akan menimbulkan potensi hambatan
bagi perdagangan bebas melalui Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), termasuk di
Indonesia. Pada awalnya, inisiatif MEA dibangun untuk memanfaatkan potensi
pasar sebesar 600 juta penduduk negara ASEAN dengan inspirasi kesuksesan UE. Dengan
keluarnya Inggris dari EU, apalagi jika nanti diikuti oleh negara-negara besar
Eropa lainnya, kelompok nasionalis dan proteksionis di Indonesia mendapatkan
momentum untuk mendorong pemerintah menunda implementasi MEA. Dengan demikian,
prediksi McKinsey (2014) bahwa MEA akan meningkatkan produksi domestik bruto
negara ASEAN per tahun pada 2030 sebesar US$ 280-650 miliar akan semakin sulit
terwujud.
Vishnu Juwono, Kandidat Doktor di London School of Economics and Political
Science, Inggris.
0 komentar:
Posting Komentar