Selasa, 24 Mei 2016

Bintang itu Jauh atau Tinggi?

Terdengar suara pintu kamar saya digedor-gedor keras sekali. Buru-buru saya lepas mukena yang saya pakai untuk sholat isya barusan. Dan membuka pintu kamar.
Muncul wajah yang saya kenal, lengkap dengan senyum nyengirnya. "Heleh mau ngapain?! Janji jam 4 sore dateng jam 7 malem."
"Biar kita lihatnya bintang. Bukan sunset."
"Ogah. Ngantuk."
"Yang terakhir kali, masa' gamau?"
Dia pandai memainkan raut wajah. Kala saya lihat, raut wajahnya kali ini... arghh oke. Kita pergi.

Ini tempat terkenal untuk anak Tembalang dan sekitarnya. Bukit Gombel. Tempatnya terbuka, bisa sepuasnya memandangi malam (tsah!), perlu dicatat, dengan tololnya saya tidak membawa jaket, maka sekarang saya sedang kedinginan.
Gara-gara kedinginan saya jadi ingat sesuatu. Apa itu? Sebuah peribahasa anonim “gantunglah cita-citamu setinggi bintang dilangit” (ini peribahasa bukan ya?). Menurut saya ada yang salah dengan peribahasa ini. Hellooo??? Bintang itu ga “tinggi”, bung! Ga tinggi. Tapi Jauh..
Tapi ketika mikir-mikir lagi, tak ada yang salah tentang jauh atau tinggi. Ini hanya masalah “frame”. Seseorang, sebut saja “pinky”, yang meramu peribahasa “gantunglah cita-citamu setinggi blablabla” melihat dirinya sebagai seseorang di tengah malam, (dan dia amnesia bahwa ada matahari) sehingga baginya bintang itu tinggi. Tapi saya, saya adalah satu spesies di alam semesta, tidak peduli siang atau malam, maka bagi saya bintang itu sangat jauh. Hoho. Ga penting.
Tapi sekali lagi, ini hanya soal “frame” atau cara pandang atau sudut pandang atau apapun saya menyebutnya. Yang layaknya sebuah sudut, ia tergantung pada masing-masing orang, seberapa besar sudut yang mampu ia tarik dari acuan nol derajat.
Lalu apa poin saya? poinnya adalah, saya tidak bisa seenaknya men-judge pendapat berbeda dari orang lain adalah salah. Saya dan dia hanya sedang memiliki frame yang berbeda. Mungkin saja sudut saya dalam memandang sesuatu lebih kecil, atau saya menarik sudut ke arah yang berlawanan, hingga wajar saya tidak mampu melihat apa yang dia lihat. Maka alangkah baiknya saya mencoba berdiri sebagai dia, menggunakan frame yang sama, berusaha menggunakan “sudut”nya ,masuk ke dalam jalan berpikirnya, memahami bagaimana cara dia berpikir dan memandang sesuatu, menilai sesuatu dengan cara dia menilainya. Maka saya tak akan punya alasan untuk egois bilang saya benar dan dia salah, maka saya akan punya lebih banyak pertimbangan.. hmm… yah, begitulah…

Pesan moral dari cerita di atas adalah: om om tante tante. Jangan hobi mainan hp dijalan. Selain bahaya untuk diri sendiri, juga bahaya untuk orang lain. *maaf, ngomong-ngomong kok ini pesan ga nyambung sama tulisan cerita ya (?)* *yhaa asikin aja* *suka-suka yang nulis* *sedang iklan layanan masyarakat* 

0 komentar:

Posting Komentar

statistics

Bukan pakar, mari sama-sama belajar. Pun bukan ahli, mari saling berbagi | Melangit dan Membumi

Diberdayakan oleh Blogger.

Contact