Kamis, 27 Februari 2014

MENAGIH JANJI INDAH MASA DEPAN, MENEMBUS BATAS

Oleh: Monaliza Sekar Rini
(dibuat untuk memenuhi permintaan Majalah Niche untuk dimuat di rubrik Cerpen)


Hargai orang-orang yang memperjuangkan mimpi mereka, terlebih jika kau terlalu lemah dan takut untuk memperjuangkan mimpimu sendiri.”

Subuh ini aku terbangun, tepat saat aku mengerjapkan mata, langsung disuguhkan berbagai tempelan-tempelan kertas yang berbaris rapi menutup hampir sebagian tembok putih kamar kostku. Jangan kira ini pemandangan baru, karna memang tempelan kertas-kertas itu sudah bertengger di tempat yang sama hampir dua tahun ini, tak jarang malah makin bertambah jumlah tempelannya. Sambil terduduk lunglai di kasur yang tak terlalu tebal ini, aku regangkan persendianku. Ada kurang lebih sekitar tiga ratus enam puluh sendi menopang tubuh kita. Pegal, tentu saja. Setiap harinya tubuhku ini digunakan beraktivitas kurang lebih 20 jam. Karna kupikir, sebagaimana harta yang perlu ada sedekahnya, maka kita pun perlu bersedekah untuk sendi-sendi itu, dengan berkarya, beramal. Begitulah, ada nafas nyawa setiap hari. Datang memastikan hidup setiap kali kita bangun pagi. Kita harus berbuat, beramal, bersedekah, demi nyawa itu.
Memoriku mulai melayang ke masa dua tahun silam. Aku masih ingat betul, dulu untuk berada di jalan ini, setidaknya aku harus menyisihkan ratusan orang lebih, bahkan diantaranya adalah teman dekatku sendiri, rekan seperjuangan. Pasalnya hanya sekitar 100 kursi yang tersedia dari ribuan orang lebih yang mendaftar di fakultas yang sekarang menjadi tempatku mengeyam ilmu, salah satu fakultas eksakta universitas negeri di kota Semarang. Dengan otak dan kemampuan ekonomi yang pas-pasan, berjibaku di pertarungan ujian ini bagiku sangat melelahkan. Palpitasi, keringat dingin, khawatir berlebih terkadang membersamai moment-moment pra maupun pasca ujian saringan masuk perguruan tinggi ini. Satu awalan sulit, yang akhirnya telah kulewati. Euphoria akhirnya sempat kurasakan tatkala perjuangan ini membuahkan hasil. 24020333 muncul dilayar monitor komputer tanda kelulusan ku di ujian saringan masuk jurusan yang aku pilih. Aihh, mulai kutepuk-tepuk pipiku, lama sudah aku termenung di atas kasur. Bergegas aku mulai bersiap untuk pergi ke kampus.

“Upss, aku lupa. Bahkan aku belum memperkenalkan namaku, cukup panggil aku Riefa.” aku mulai menyipitkan mataku tajam, mengolah suaraku bak gemuruh suara pendongeng handal. “Aku akan memberitahu kalian sebuah cerita, sebuah cerita yang hidup di dalam mimpi manusia. Sebuah cerita yang berasal dari rumah petak kusam di ujung desa,  dengan semangat menggelora dan dihiasi dinginnya malam untuk menagih janji-janji indah masa depan. Di rumah itu tinggal gadis sulung dari lima bersaudara bersama kedua orangtuanya. Sejak kios ayahnya di pasar ludes karna kebakaran pasar lima tahun lalu, demi menyambung hidup keluarganya, sang ibu rela menjual barang-barang yang ada di rumah mereka pada tetangga sekitar. Ibunya sudah kehabisan cara untuk mendapatkan uang guna membeli beras. Dijuallah satu persatu barang-barang, setiap kali adik-adik si sulung menangis karena kelaparan. Mulai dari beberapa pakaian, alat-alat dapur seperti gelas, piring, panci, bahkan di dapur mereka sekarang sendok dan garpu pun ikut habis terjual. Upah ayahnya yang kini menjadi kuli serabutan di pasar tidak cukup untuk menopang biaya keluarganya. Tak jarang uang hasil sang ibu menjual barang-barang itu dibelikan setengah liter beras untuk dimasak menjadi bubur agar cukup dimakan mereka berlima. Jauh di dalam hati sang gadis, tersimpan mimpi sederhana, membahagiakan orangtuanya, mengangkat derajat keluarganya, membuat adik-adiknya setidaknya makan rutin tiga kali sehari. Sesederhana itu? Tentu saja tidak, caranya… nah dia mulai memikirkan caranya.” aku mulai mengambil jeda nafas. Belum juga aku menyelesaikan nafasku, bu Lina, pengurus panti asuhan, sudah berdiri di depan pintu “Ayo semuanya, sudah waktunya kalian membersihkan tempat ini. Lalu bersiap ke madrasah.”. Kharira, kawanku yang sedari tadi khidmat mendengarkan ceritaku kepada anak-anak panti ini mengulum senyum. Cepat-cepat dia mengambil ancang-ancang supaya anak-anak ini tidak merajuk akibat cerita yang mendadak harus to be continued. “Oke, kita bisa melanjutkan cerita ini besok bersama kak Riefa kan?,”ucapnya. Cukup dengan kerlingan mata dan senyumanku, mereka langsung riang dan berhamburan memeluk kami. Jangan meragukan mereka kalau masalah membaca bahasa ‘kode’.

“Setelah ini mau kemana lagi kakak pendongeng?,” tanya Kharira saat kami hendak mengayuh sepeda meninggalkan panti asuhan itu. “Sudah cukup, hari ini tidak kemana-mana lagi. Kita pulang ke kostku saja, masih ada berkas-berkas sponsorship yang harus aku siapkan,” jawabku sambil mengayuh sepeda.
Aku pendongeng? Tentu saja bukan. Aku hanya seseorang yang ingin menyebarkan semangat perjuangan atas janji-janji indah masa depan. Hingga saat ini, itulah yang baru mampu kuberikan kepada sesamaku, anak-anak itu, yang tanpa mereka sadari bisa saja mimpi-mimpi mereka menembus batas keadaan yang ada.
            Kharira langsung membuka jendela kamar kostku, sementara aku langsung sibuk krasak-krusuk mencari dokumen-dokumen yang aku butuhkan di rak buku kecil dalam kamarku. “Uhhh panas sekali disini. Perasaan di Jogja mau musim kemarau seperti apa juga tidak begini amat panasnya,” Kharira mengibas-ngibaskan tangan di depan wajahnya. “Jangan latah keadaan begitu, namanya juga Semarang beda dengan di Jogja, apalagi kamarku ini sempit, ya jelas saja panasnya minta ampun. Kalau tidak tahan, ya pulang saja sana ke Jogja,” aku menyeringai menatapnya. “Sejak kapan kamu jadi sesensitif kulit bayi begitu hah? Aku kan hanya mencoba memberi informasi saja,” Kharira gusar mendengar jawabanku. Kharira itu mahasiswi salah satu universitas negeri unggulan di Jogja, jurusan hubungan internasional. Perkenalan kami sungguh tak terduga, siapa yang menyangka dua gadis dan berkenalan di bis antar kota sekarang menjadi kawan karib seperti kami ini. Kharira kawan yang pas untuk diajak berdiskusi mengenai banyak hal, mungkin jika kalian bertemu langsung dengannya akan menganggap gadis yang ramah ini biasa-biasa saja. Tapi setelah kalian berbicara dengannya, jaga saja mulut kalian agar tidak menganga terlalu lama karna terbius kecerdasan yang dibalut dengan public speaking yang hebat darinya, bidang sosial; politik; humanity; lingkungan; pendidikan; internasional bahkan agama pun seperti dia tahu segalanya, berdiskusi dengan Kharira menjadi pencerdasan tersendiri bagiku. Yaa.. malam ini aku harus berbagi kasur ukuran seorang ini dengan Kharira, dia ada workshop di Semarang.
            Bukan Kharira namanya kalau tidak bisa menghidupkan suasana kembali, “Baik, lupakan masalah panas, Semarang, dan Jogja. Bagaimana dengan perkembangan permohonan sponsormu untuk ke Praha?,” kali ini dia bertanya dengan nada hati-hati. “Entahlah. Ini sudah H-4 dari batas verifikasi kongres pemuda internasional di Praha itu, tapi sampai hari ini tidak ada satu maskapai pun yang berhasil aku minta untuk menjadi sponsorku ke Praha. Ra, berapa kali lagi aku harus menyimpan mimpi-mimpiku kembali?,” rasanya tak kuasa lagi aku membendung buliran air mata yang kini serasa berjubal untuk berhamburan ke pipi. Tidak tidak tidak!!! Masih ada empat hari lagi bukan? Ya, siapa yang tahu rencana Tuhan empat hari ke depan, mungkin besok, atau besoknya lagi, atau besoknya lagi jalan terang itu akan ada. Air mata ini, bukan sekarang saatnya berhamburan ke pipi.
            “Orangtuamu? Apa mereka tahu tentang hal ini?,” Kharira menghampiriku. “Tidak, aku tidak memberitahu mereka sebelum semuanya tampak nyata. Aku merantau ke Semarang untuk kuliah bermodal tekad, untungnya disini aku masih bisa bertahan hidup dari beasiswa-beasiswa itu. Memikirkan makan keempat adikku di rumah saja orangtuaku sudah susah, mana tega aku mengatakan hal ini ke orangtuaku. Bahkan untuk sekedar memberi kabar tentang hal ini saja, bukan meminta bantuan, aku tidak sanggup. Akan menambah beban pikiran mereka, kalau kalau membuat mereka merasa menyesal karna tidak bisa berbuat sesuatu untukku.” mataku menerawang jauh. Obrolanku dengan Kharira senja ini, serasa mengumpulkan kembali remah-remah semangatku yang sempat berhamburan beberapa saat lalu. Aku ingat janjiku pada diriku sendiri, “membahagiakan orangtuaku, mengangkat derajat keluargaku, membuat adik-adikku setidaknya makan rutin tiga kali sehari”. Aku mendapatkan caranya kala itu, dengan sadar akan pentingnya pendidikan, semoga Tuhan membersamai di setiap langkahku.
            Aku mulai mengayuh kencang sepedaku, sesekali kusapu peluh yang ada di wajahku dengan punggung tangan, menembus kabut yang turun, menyesap aroma tanah bekas guyuran hujan semalam. Jalanan utama di Semarang masih lengang pagi ini, maklum ini baru pukul 05.15 WIB. Semalam aku sudah membuat list sponsor yang harus aku datangi hari ini, berhubung hari ini tidak ada ongkos untukku naik angkutan umum, jadi aku berangkat ke tempat tujuanku dengan sepeda, pagi-pagi, supaya aku bisa lebih awal sampai disana, karna siangnya harus kembali ke kampus, ada jadwal kuliah.
            H-3, H-2, kucoret sembarangan dua angka yang ada di kalender bulan ini. Besok, waktuku tersisa besok sebelum deadline itu datang. Dan benar, hingga detik-detik terakhir penutupan verifikasi itu aku hanya bisa menggigit bibir. Ngilu rasanya. Tulang-belulangku juga entah kenapa mendadak lunglai rasanya. Hatiku koyak, mulai mempertanyakan janji-janji indah masa depan yang diperuntukan bagi mereka yang berjuang. Aku? Kurang berjuang kah aku?... ohh sungguh aku tidak sanggup lagi mengungkapkannya, pertanyaan-pertanyaan yang melayang di benakku saat ini sungguhlah buruk, mempertanyakan kekuasaan, mempertanyakan mimpiku sendiri, bahkan aku mulai merasa diriku diperbudak oleh mimpi-mimpiku itu. Yaa benar, selain pendidikan, setidaknya aku ingin menginjakkan kaki di belahan dunia sebelah sana, belajar dengan cara berbeda, belajar dari bangsa yang berbeda, belajar di tempat berbeda. Belajar, belajar, belajar…untuk selanjutnya memberi, memberi pada orangtuaku, adik-adikku, lingkunganku, sesamaku…
            Jangan kira ini seperti cerita novel dan sejenisnya diluaran sana yang tokoh utamanya sekuat baja, setegar karang. Kalian salah kalau mengira begitu, ini ceritaku, Riefa. Aku jatuh, menangis sejadi-jadinya di dalam kamarku, baru kali ini aku merasakan benar-benar berada di titik terbawah, aku serasa orang paling miskin disini. Bukan hanya miskin harta, tapi juga serasa miskin daya juang. Punya apalah aku sekarang, orang-orang seperti aku ini satu-satunya harta terbesar adalah daya juang, tapi mendadak sekarang daya juangku itu leleh bak bongkahan gunung es di puncak Jaya Wijaya yang dipindahkan dadakan ke Semarang yang suhunya panas minta ampun. Mungkin aku tidak akan serapuh ini jika ini kegagalan pertamaku, sayangnya ini kesekian kali kegagalanku dengan masalah yang sama. Biaya. Manusia mana yang tidak mempertanyakan tentang keadilan kalau sudah begini.
Kupandangi lekat-lekat tempelan kertas-kertas yang ada di tembok kamar kostku. Sampailah mataku pada satu kertas bertuliskan, “Ya Tuhan, ini mimpi hamba tiap tahunnya. Pergi ke belahan dunia bagian lain untuk belajar tentang segala pelajaran yang bisa hamba dapatkan tanpa biaya sepeser pun dari kantong hamba. Tuhan, di kawasan Asia dulu tidak masalah. Seperti China, Thailand, Malaysia… untuk selanjutnya ke negara asal pohon mapple, KANADA”. Lalu tempelan kertas di sebelahnya, “Tuhan, permudah jalan hamba untuk dapat melihat pohon mapple di negara asalnya. KANADA”. Lucu bukan? Tentu saja kalian menganggap itu lucu, tapi aku terkagum-kagum dengan mapple. Daun yang menjadi lambang di bendera sebuah negara itu, ohhh sungguh, seharusnya aku tidak perlu membaca novel non fiksi itu yang membuatku tergila-gila dengan belahan dunia dibagian sana hingga seperti ini, pikirku. Makin kubaca tempelan-tempelan itu, makin serasa memuncak rasa sedih, kesal, marah, dan semua rasa-rasa yang membuatku bingung ini.
Aku butuh waktu, untuk menyembuhkan ‘lukaku’ ini. Sebulan, dua bulan, yaa saat ini aku sudah melanjutkan aktivitasku seperti semula. Menjadi aktivis kampus, kuliah, pendongeng di panti-panti, kerja part time, dan tentu saja masih mengoyak kesempatan-kesempatan ke luar negeri yang ditawarkan. Jika kalian berpikir, ‘anak ini ga ada kapoknya’, aku pun berpikiran yang sama pada diriku sendiri. Saat aku terpuruk beberapa bulan lalu, sahabat karibku Kharira datang dari Jogja. Jauh-jauh dari Jogja, saat melihat keadaanku yang tidak bisa didefinisikan dengan kata ‘layak’, dia hanya berkata “Riefa, sahabatku, pejuang yang selalu memperjuangkan janji-janji indah masa depan. Ketahuilah, Tuhan tahu, tapi menunggu,” ujarnya sambil memelukku. Sekarang, setelah kondisi mentalku kembali seperti semula, aku bisa tertawa sendiri mengingat hal itu. Lucu. Entah dimana sisi lucunya, aku malu, malu pada diriku sendiri yang sempat menghujat mimpi-mimpi itu. Karna benar kata Kharira, ‘Tuhan tahu, tapi menunggu’. Aku memang tidak jadi pergi ke Praha, tapi beberapa hari lalu, masuk ke emailku pengumuman bahwa aku lolos menjadi mahasiswi exchange ke Korea. Akomodasinya? Tentu saja tidak perlu kukhawatirkan kali ini, karena semua biaya ditanggung oleh pihak penyelenggara.

“Kalian mau mendengar cerita selanjutnya dari sang gadis?,” aku bertanya, menggoda mereka. “Tentu saja, tentu saja,” suara teriakan mereka serentak memekakkan telingaku. “Gadis itu berhasil menagih janji-janji indah masa depan bagi mereka yang selalu berjuang di garda depan, seperti yang selalu ibunya katakan. Setelah mengalami semua itu, sang gadis menyadari, bahwa bukan melulu harta yang bisa menagih janji indah masa depan, tapi keyakinan dan mimpi yang diperjuangkan. Selesai.” aku tersenyum dan mengusap rambut mereka satu persatu. “Terima kasih kak Riefa… besok kita bertemu disini lagi ya. Ceritakan lagi kepada kami tentang kisah-kisah yang lain. Sepakat?,” ujar salah seorang anak. “Wohh tentu saja sepakat.” kami saling menautkan jari kelingking. Tak lama kemudian punggung-punggung mereka semakin lamat-lamat menjauh dan hilang dari pandanganku.

Aku mendongak ke atas, kulihat ranting-ranting pohon mapple yang meranggas berada di atasku. Kulihat pula ke arah sepatuku, aku tersenyum, terdapat jejak bekas sepatuku di lapisan salju bawah kursi taman yang kududuki saat ini. Yaa.. saat ini aku berada di Kanada, melanjutkan beasiswa S2 ku disini. Ini merupakan negara keempat yang kukunjungi sejak exchange di Korea dulu itu. Sungguh, Tuhan menjawab doa hambanya dengan cara yang luar biasa. Anak-anak yang baru saja selesai kudongengi, adalah anak-anak berdarah Indonesia yang orangtuanya bekerja di Kanada. Jadi rindu dengan anak-anak panti di sekitaran kampusku, apa kabar ya mereka?                                                                                                             
Oh iya, tentang Kharira…kalian ingin tahu sekarang bagaimana keadaannya? Semalam dia mengirim email padaku, dia dinobatkan menjadi salah satu penerima penghargaan bergengsi ASHOKA Young Change Maker tahun ini atas kepeduliannya terhadap lingkungan di Jawa terutama mengenai sampah katanya, hebatnya kawanku itu.
Bagaimana? Luar biasa bukan kekuatan mimpi, tentu saja mimpi yang diperjuangkan. Jangan pernah berhenti untuk bermimpi, karena impianlah yang bisa mengetuk pintu hati kita untuk selalu berusaha mencapainya.

0 komentar:

Posting Komentar

statistics

Bukan pakar, mari sama-sama belajar. Pun bukan ahli, mari saling berbagi | Melangit dan Membumi

Diberdayakan oleh Blogger.

Contact