Senin, 23 Oktober 2017

Kami Bersama Kalian #savegerakanmahasiswa

Sejak masa awal tingkat hingga akhir tingkat di kampus, alhamdulillah saya selalu diamanahi untuk menjadi jundi di wajihah sosial politik khususnya bidang kaderisasi, mulai dari himpunan mahasiswa, BEM fakultas, hingga terakhir karir organisasi saya di BEM universitas.

Sejujurnya, walau di wajihah sospol, saya bukanlah individu yang sering ikut aksi atau demo. Tiap kali hendak penurunan massa aksi, saya selalu bertugas untuk 'jaga rumah' ketika bapak bapak organisasinya pergi untuk turun aksi. 

Walau saya hanya selalu jaga rumah, saya mengacungi jempol pada mereka-mereka yang berani ikut ambil bagian, berani menggugat langsung, tidak hanya koar-koar bersembunyi di balik sosmed dengan akun fake.

Tahukah? Banyak hal yang harus dipertaruhkan dan menjadi tanggung jawabnya ketika hendak memilih untuk turun ke jalan. Akademiknya, nama kampusnya, kehormatan orang tuanya. Banyak hal yang mereka bawa dan harus jaga. Maka saya pikir, perjuangan mahasiswa yang berani turun ke jalan itu bukan suatu hal yang receh, apalagi hanya sekedar untuk panjat sosyel. Absolutely NO. Demi kemaslahatan orang banyak, mereka rela harus bayar dengan hal-hal yang sifatnya pribadi.

Seorang kakak yang kala itu menjabat sebagai menteri sospol BEM UI, dalam obrolan sore kami pernah bilang kepada saya, "Gerakan mahasiswa itu gerakan berbasis moralitas dan intelektualitas". Dan saya setuju dengan itu. Apa untungnya kita mengenyam bangku kuliah jikalau langkah kita masih saja srudak-sruduk tidak jelas. Lalu, apakah mereka yang turun aksi jelas? Apakah mereka yang turun aksi itu pakai sisi intelektualitasnya dan bukan sekedar 'teriakan mulut' saja? YA! Iya... puluhan kali bahkan hingga tak terhitung jumlahnya, sebelum aksi wajib diadakan kajian-kajian yang panjang dan mendatangkan pakar. Bahkan data-data yang dibawa pun kadang bukanlah data periode jabatan itu saja, tapi pun sebelum-sebelumnya. Aksi adalah langkah lanjutan ketika langkah-langkah strategis sebelumnya yang dilakukan mahasiswa tidak diindahkan. Bukan ujug-ujug demo. Engga... kalau ada yang bilang "bisa lah pakai cara halus aja buat mengawal pemerintah", ketahuilah... tidak ada demo tanpa surat terbuka terlebih dahulu, tidak ada demo tanpa usaha untuk duduk bersama sebelumnya.
Saat hendak demo pun, ada sikap kooperatif yang harus dijalankan mahasiswa sebagai suatu sistem, yaitu izin keamanan kepolisian, bahkan hingga menunjukkan spot mana-mana saja yang akan digunakan untuk aksi tersebut.
Jika kita baca ulang, tuntutan yang diajukan oleh BEM SI pada aksi tempo hari tidak ada yang keliru.

Saya paham betul, dewasa ini gerakan mahasiswa akan penuh tantangan dan tanggung jawab lebih kedepannya. Idealisme mahasiswa yang dibangun dengan dasar intelektualitas, integritas, dan kepedulian terhadap masyarakat menuntut mahasiswa untuk bisa memberikan yang terbaik untuk masyarakat.

Ada realitas yang menunjukkan tidak semua mahasiswa memiliki ketersadaran dan keterlibatan dengan gerakan mahasiswa. Hal ini disebabkan mahasiswa Indonesia terhinggapi virus pragmatisme dan apatisme. Sistem pendidikan yang berlaku cenderung mendukung tersebarnya virus pragmatisme dan apatisme karena sepertinya hanya membentuk mahasiswa yang pintar dan terampil serta berorientasi kerja untuk memenuhi permintaan pasar. Mahasiswa saat ini bisa dikatakan unggul dalam hal intelektualitas dan akademik akan tetapi perlu reformasi pemahaman lebih terkait moral dan politik. Karena bagaimanapun sebagai sebagai seorang first class citizen , permasalahan moral dan politik seharusnya sudah menjadi santapan sehari-hari yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan. 

Jadi saya tuh suka sedihnya kebangetan. Kalau mereka yang turun ke jalan malah 'dipojokkan', tidak didukung dan malah disalahkan. Well... mereka nggak seburuk itu :( banyak yang mereka pertaruhkan juga. Mereka aksi bukan buat sangar-sangaran doang. Bukan. #embak-embakmulaibaper.
Kalau lah kita tidak bisa membantu tenaga, pikiran dan material, cukuplah jangan menyalahkan dan bantu dengan doa perjuangan mereka.



***



SERUAN ALUMNI BEM UNDIP
Bebaskan aktivis mahasiswa!

"Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-undang.” (Ps. 28 UUD 45)

Di negeri yang mengaku telah pergi meninggalkan otoritarianisme, ternyata menyampaikan kritik dan pendapat tetap dilawan dengan pentungan dan bogem mentah.

Sehubungan dengan penangkapan beberapa mahasiswa yang tergabung dalam Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Seluruh Indonesia, 20 Oktober 2017, maka Keluarga Alumni BEM Universitas Diponegoro (KA BEM UNDIP), dengan tegas menyatakan:

1. Bahwa, Konstitusi Republik Indonesia telah menjamin kebebasan berpendapat dan menyatakan pendapat di muka umum. Sehingga, aksi demonstrasi yang dilakukan mahasiswa yang tergabung dalam BEM SI pada 20 Oktober 2017 merupakan aksi yang dilindungi oleh Undang-Undang dan bukan merupakan demonstrasi yang secara substansi dan tata caranya dilarang oleh peraturan perudang-undangan. Maka, siapapun tidak berwenang melakukan tindakan represif.

2. KA BEM UNDIP mendukung penuh demonstrasi yang dilakukan oleh seluruh elemen mahasiswa sebagai bentuk kontrol kepada pemerintah dalam menjalankan roda pemerintahan.

3. Mengecam tindakan represif aparat dalam menyikapi kebebasan berpendapat yang diijamin oleh UUD 45, dan bertindak dengan menggunakan kekerasan dalam mengamankan demonstrasi yang dilaksanakan oleh BEM SI.

4. Mendesak POLRI, dalam hal ini POLDA METROJAYA untuk membebaskan mahasiswa yang ditersangkakan dan/atau ditahan sejak 20 Oktober 2017, supaya mendapat perlakukan yang sama dimata hukum (equality before the law), dan tidak diperlakukan sebagai pembuat kerusuhan.

5. Mendesak Presiden Joko Widodo untuk mengeluarkan pernyataan, klarifikasi dan/atau tanggapan sehubungan aksi demontrasi serta keberpihakan kepada adik-adik BEM SI yang dilakukan oleh aparat kepolisian, atas dasar hak asasi manusia.

6. Mengajak seluruh elemen masyarakat, aktivis mahasiswa, alumni BEM dan aktivis pergerakan kampus untuk bersama mengawal BEM SI secara pro-aktif menyikapi penangkapan tersebut, dan sebagai bentuk keprihatinan matinya demokrasi di Indonesia secara perlahan-lahan, dan lebih kritis dalam menyikapi fenomena demokrasi di Indonesia.

Jakarta, 23 Oktober 2017

Ttd,
Alumni BEM Undip

Alumni BEM Undip:
1999: Edi Santoso
2000: Fris Dwi Yulianto
2001/2002: Hadi Santoso
2003: Handoyo Prihantanto
2004: Aris Fajar Rohani
2005: Eko Susanto
2006: Muhammad Taufan
2007: Budi Setyawan
2008: Aryanto Nugroho
2009: Yudha Prakasa
2010: Adiyatma Nugraha
2011: Indra Permana
2012: Reza Auliarahman
2013: Mohd Najibullah B
2014: Taufik Aulia Rahmat
2015: Risky Haerul Imam
2016: Fawaz Syaefullah






continue reading Kami Bersama Kalian #savegerakanmahasiswa

Minggu, 15 Oktober 2017

Kalian, Bentuk Terindah dari Baiknya Tuhan Padaku

Orangtua seyogyanya adalah harapan bagi anak :) Di saat anak jatuh; kecewa; gagal; dianggap rendah; dianggap tidak sukses, orangtua lah tangan pertama yang mengulurkan bantuan, hati merekalah yang pertama kali percaya bahwa anaknya mampu menemukan peran terbaiknya.
MasyaAllah :”) itu yang selalu orangtua saya lakukan kepada saya, tidak peduli se-buruk apapun kemampuan saya dibanding teman-teman sebaya, mereka selalu hadir untuk menenangkan; pemompa semangat terhandal ketika saya teramat takut untuk bersaing, ketika saya menggenggam terlalu banyak kekhawatiran, bahkan sampai usia yang terbilang tidak muda lagi ini pun saya masih selalu menelpon ibu ketika tengah malam saya terbangun ketakutan karena mimpi buruk #receh! :”) saya juga tidak pernah masuk ruang ujian apapun kecuali dengan menghentikan sejenak langkah terakhir saya di depan pintu ruangan tersebut untuk mengambil handphone dan texting minta doa ke orangtua saya walaupun sebelumnya saya sudah meminta doa mereka, tapi ya entah kenapa saya merasa tenang aja kalau doa mereka ikut membersamai saya bahkan hingga detik-detik terakhir perjuangan saya.

Saya masih ingat betul, saya dan adik saya begitu mudah meminta izin dari orangtua kami untuk tidak masuk sekolah ketika kami merasa penat belajar dan datang ke sekolah. Penat sekolah saya rasa suatu hal yang wajar bagi setiap anak manusia #pembelaandirinih haha. Bagaimana tidak(?) untuk ukuran anak kampung seperti saya, masuk ke SMP di kota dengan beban pelajaran dan kegiatan dari jam 6 pagi hingga jam 5 sore, berasa nightmare, bersaing dengan anak-anak kota yang mungkin dikasih makannya bergizi-bergizi terus kali yak jadi hasilnya pinter-pinter gitu. Berlanjut ke SMA dan masuk ke kelas yang bahasa pengantarnya menggunakan dwi bahasa yang tiap harinya tas saya tidak pernah tidak diisi dengan buku-buku plus kamus bahasa inggris (ini penting bangett jadi pas baca handbook nggak mudeng, buka kamus. Pas mr/mrs nya ngomong tapi aku masih aja nggak mudeng, buka kamus. Demiii. Hidup gue semenyedihkan itu hiks) yang tebalnya mirip dengan cucian baju selama 2 minggu di kosan kalau ditumpuk (pantas saja saya tidak tinggi hiks. Ini akibat membawa beban berat di tas kali ya. Eh sama ini, bawa beban hidup #lemparsandal). Seperti yang saya bilang, saya bukanlah anak yang shine bright like a diamond. Tapi, orangtua saya yang selalu membesarkan hati saya, bersabar menerima kekurangan saya, mereka yang selalu percaya pada ide-ide gila saya tiap kali orang lain tidak yakin kepada kemampuan saya. Mereka tidak pernah memaksa anak-anaknya untuk belajar keras (itu sebabnya anak-anaknya selalu mudah acc kalau mau bolos sekolah :”) syarat bolosnya cuma satu, jujur. Baik itu jujur ke orangtua ataupun jujur ke pihak sekolah. Jujur ke orangtua adalah kalau kita bolos ya bolos dari rumah, jangan dari rumah keliatan berangkat tapi tidak sampai di sekolah. Jujur ke pihak sekolah, orangtua saya pun tidak membuatkan izin ke sekolah seperti surat sakit atau sebagainya, karena kami memang tidak sakit. Kami kan bolos :”) jadi nggak berhak dapat izin sakit. Kalaupun besok pas masuk sekolah diomelin guru gara-gara bolos, yaudah konsekuensi kami, harus dihadapi. Apa yang kami lakukan selama bolos di rumah? Makan, tidur, nonton tv, main game. Yaaa hal-hal yang awkward gitu lah. Dan orangtua kami menghargai itu, tidak memojokkan kami atas keputusan bolos sekolah yang kami ambil hanya untuk kegiatan nggak penting kami di rumah semacam itu. Tapi saya rasa ini cara mendidik yang ekstrim kkkkk~ jangan diterapkan sebelum mengetahui karakter si anak dengan benar, alih-alih nanti jadi salah asuh), tanpa kami merasa didikte orangtua kami seakan-akan menjelaskan kepada kami untuk apa pentingnya belajar itu. Jadi kami belajar keras karena pemahaman kami sendiri, dan kami tahu untuk apa kami harus belajar, bukan dari paksaan atau tekanan.

Sungguh percayalah :”) Saya ini dibanding temen-temen yang lain seringnya saya ngerasa rendah diri karena sebenernya saya nggak punya kemampuan yang lebih baik dari yang lain, malah terhitung di bawah wakakaka. Cuma, peran orangtua saya yang menjadikan saya merasa “sebego-begonya lu, lu tetep berharga kok buat bapak sama ibu. Segagal-gagalnya lu, lu tetep kok bakal selalu punya tempat buat pulang. Etc.”. Serius deh :”) dari situ saya jadi punya semangat untuk berusaha lebih keras, berusaha lebih tekun lagi, berani malu, nggak terlalu mikirin apa kata orang (dalam kondisi tertentu yak tapi). Jika ada yang tahu, disaat yang lain sudah enak-enakan bisa main-main, saya masih harus belajar berulang-ulang hingga pagi untuk dongkrak nilai. Disaat yang lain skor toeflnya sudah bisa buat lamar beasiswa dan sudah bisa casciscus ngomong sama bikin caption pakai bahasa inggris, saya masih harus les sepulang kerja dan ngadepin handout untuk belajar toefl. Disaat yang lain sudah ikut konferensi kemana-mana, saya masih harus utak-utik di laboratorium. Disaat yang lain sudah bisa tidur nyenyak, saya masih harus begadang buat ngerancang konsep organisasi gara-gara otaknya keseringan mampet hahaha. Da aku mah apa atuh... Cuma serbuk micin yang dihempas manja di khatulistiwa. Allah Maha Baik karena menutupi aib-aib saya, doa orangtua saya begitu manjur sehingga banyak membuka jalan-jalan di hidup saya. Begitulah sodarah sodarah.

Jadi, saya membuktikan bahwa penerimaan orangtua terhadap kondisi anaknya bisa berimbas seluar biasa itu, bisa mengubah si anak. Kemarin saya ikut kajian, ada jama'ah yang nanya “Umik, kan ngurus anak itu capek ya... belum lagi kalau ngeliat anak seusianya udah bisa ini itu dan anak kita belum, rasanya tuh sedihhh banget Umik, ini anak aku kenapa(?). Terus kadang saking capek sama semuanya, kadang jadi keluar omongan kasar atau bentak.” Lalu ustadzahnya jawab “Orangtua kuat akan menghasilkan anak yang kuat. Jangan terburu-buru ingin anak kita sholih atau baik, karena mengajarkan dengan cara menekan bukan pondasi yang kuat untuk anak. Pahamkanlah si anak saat kita hendak mengajarkan sesuatu. Perbanyak doa, peluk mereka, tatap matanya untuk transfer kasih sayang kita ke mereka. Tiap anak punya cara berbeda dan jenjang waktu berbeda untuk mengeluarkan kemampuan terbaiknya. Pahamilah, para orang tua.”

Hmmm... saya jadi ingat biografi seseorang. Thomas kecil dengan sang Ibu, Thomas yang dianggap aneh, hingga tak ada guru yang mau mengajarnya. Ibunyalah yang pertama kali menyambut Thomas ke dalam pelukannya; kepercayaannya; pemberian harapan, membawanya kembali kepada sekolah sang ibu, sekolah di rumah. Jadilah ia.. Seorang Thomas A. Edison. Yang melalui penemuannya, kita sekarang mampu merasakan setiap pendar cahaya :)
Mungkin ya waktu itu orangtua saya juga sedih kok anaknya macem saya begini wakakakak. Tapi, mereka memilih sikap untuk tidak pupus harapan dari setiap ucapan orang yang menurunkan semangat mereka. Mereka menjadikan saya istimewa apa adanya... Melalui pupuk cinta, perhatian, dan pendidikan dari orang-orang yang percaya pada saya.

Jangan lelah untuk belajar, start kita sama kok sebenernya, hanya proses yang akan membuat kita beda ending :”)
continue reading Kalian, Bentuk Terindah dari Baiknya Tuhan Padaku

Kamis, 12 Oktober 2017

Menjaga perasaan orang tua adalah hal utama nan terbaik bagi seorang anak. Sampai-sampai sholat sunah kalah nilai utamanya dibandingkan menaati perintah mereka.
Ketika orang tua melakukan kesalahan pun, kita tetap tidak boleh memarahi, membentak dalam mengingatkan. Diksi yang lembut yang belum pernah terucap bahkan dianjurkan mengalir dari bibir untuk melembutkan hati mereka.
Tidak boleh ada kata ‘nanti’ dalam menaati pinta mereka. :)
continue reading

Selasa, 10 Oktober 2017

Be A Productive

Beberapa waktu lalu teman saya menghubungi saya untuk mencurahkan kugandahan hatinya #girlszamannow. Kegundahan hati mengenai sulitnya menjadi produktif setelah kehidupan pasca kampus. Hmm... sesungguhnya ini pun yang menjadi kegundahan saya setahun yang lalu setelah saya lulus kuliah hehe. Saya jadi menerawang ke belakang.

Menjadi produktif di tengah kehidupan masyarakat tidak semudah dulu saat di kampus. Entah karena alasan pertama, gap umur yang berbeda sehingga menjadikan kita bingung harus ke kelompok yang mana. Ikut remaja masjid sudah nggak remaja lagi, ikut kumpulan arisan ibu-ibu RT eee belum diundang karena dianggap belum saatnya haha. Dilematis sekali ya. Atau alasan kedua, waktu kita yang serasa terhimpit karena ditekan rutinitas bekerja. Berangkat pagi, pulang sore. Beres-beres rumah, eeeh sudah magrib saja, orang-orang sudah pada masuk rumah. Menyapa tetangga pun kadang hanya sekedar saat berpapasan jalan hendak ke kantor. Syukur-syukur kalau weekend ada acara di kompleks, bisa dijadikan kesempatan untuk bersosialisasi dan berkumpul dengan tetangga yang lain. Tapi acara rutin seperti itu jarang ada. Duilehhh pusying, ya. Terus kerjaannya habis dari kantor glepah-glepoh doang di kasur? Bagi orang-orang yang sudah terbiasa bergerak, percayalah, situasi semacam glepah-glepoh di kasur doang itu adalah awkward moment bangetttt. Keadaan akan makin berkali-kali lipat menjadi sulit apabila tempat domisili pasca kampus kita bukanlah di kampung halaman dan bukan pula di kota tempat kampus kita berada. Intinya kita belum pernah mengenal tempat kita sekarang, tidak ada teman zaman sekolah dulu ataupun kerabat. Fix, kering sendirian haha.

Semua butuh proses... begitupun yang terjadi pada saya. Alhamdulillah sekarang saya telah melewati kegundahan tersebut. Sedikit demi sedikit saya mulai memiliki pemahaman baru mengenai produktif itu sendiri. Karena ya sekali lagi... kita harus ingat bahwa cara aktualisasi diri kita saat di kampus, dengan pasca kampus harusnya dibedakan. Definisi produktif saat di kampus, dengan saat pasca kampus pun harus dibedakan. Karena... lahannya sudah beda, status kita sudah beda, apa yang kita hadapi pun berbeda. Maka bertumbuhlah dengan pemahan yang baru dan seharusnya. Kita tidak bisa menuntut semua kondisi sama seperti kita di kampus dulu. Di masyarakat nggak ada yang namanya organisasi buka oprec, beda sama di kampus yang organisasi malah nyari-nyari anggota. Di masyarakat, kita yang menjemput bola untuk bersosialisasi dengan tetangga sekitar, nggak akan ada yang datengin kamu dan bilang "dek kok dipojokan aja.. gih sini ikut gabung ke tengah" ada sih, tapi bakal jarang. Dannn lain-lain. Laluuu gimana ini oh gimana haha.


Masing-masing dari kita berhak memberikan definisi sendiri mengenai produktif itu. 
Namun bagi saya, menjadi produktif adalah hak setiap orang, terlepas apakah ia seorang ibu rumah tangga, pelajar, atau pekerja. Tanpa harus terkekang dengan statusnya. Karena sebenarnya disadari atau tidak, tuntutan untuk menjadi produktif itu sudahlah menjadi fitrah manusia. Se-mager-er apapun kamu, pasti akan ada bosennya juga dan pengen gerak kan?


Maka, di dunia pasca kampus ini, saya jadi nggak muluk-muluk memasang target mengenai produktivitas saya sih. Karena ya itu tadi, kondisi berubah seperti serangan negara api. 
Bagi saya sekarang, tolak ukur sebuah produktivitas diukur dari 3 hal:

1. Sejauh mana setiap waktu yang kita miliki, dapat senantiasa dioptimalkan dalam amal kebaikan. 
Dan kriteria ini memberikan ruang seluas-luasnya bagi setiap manusia, dengan potensi apapun. 😊
Satu hal yang saya yakini, Allah tidak pernah menciptakan kita sebagai manusia biasa-biasa saja, karena kita semua dicipta untuk menjadi khalifah.
Maka tugas seseorang untuk bisa produktif, memerlukan usaha optimal untuk mengenali dirinya sendiri, menemukan tujuan penciptaannya, lalu menemukan peran terbaik yang Allah titipkan pada diri kita.
Ketika kita sudah menemukannya, maka tugas kita selanjutnya adalah "beramal beramal beramal", memanfaatkan setiap waktu untuk senantiasa dalam aktivitas kebaikan. Sekalipun aktivitas itu adalah merapihkan rumah, membaca buku, atau membantu membagikan minum di acara pengajian di masjid dekat rumah, dsb.

2. Kriteria produktif bagi saya, 
Bukan hanya kita melakukan amal kebaikan, tapi ia pun adalah amal yang penuh ikhlas dan taqwa.
Kenapa? Karena kualitas keberkahan suatu amal, akan bergantung pada niat dan proses pelaksanaannya. 
Produktif bermakna berkarya yang menghasilkan manfaat seluas-luasnya. Dan Allah lah yang Maha Menentukan, sejauh mana sebuah amal itu bermanfaat. Yang saya yakini, ketika sebuah amal dilandasi oleh bekal niat yang ikhlas, dan dilaksanakan penuh ketaqwaan, maka keberkahan dari amal tersebut akan melimpah berlipat ganda. Terlepas apapun kegiatannya.
Punten, saya adalah tipikal orang yang meyakini, tidak ada amal baik yang terlalu sepele untuk dilakukan. Jangan pernah meremehkan suatu amal yang menjadikan kita lupa kepada Siapa kita beramal. Boleh jadi, sebuah prestasi yang kita anggap besar, namun kecil nilainya di sisi Allah. Dan boleh jadi, suatu aktivitas yang kita anggap remeh, ternyata Allah limpahkan keberkahan luas di dalamnya.
Sebagai contoh, misalkan kita mendengar tetangga kita jatuh sakit, padahal waktu sempit dan kita mungkin tak mampu memberikan bantuan materiil. Kita memilih untuk sekedar membagi sedikit dari masakan kita untuk makan siangnya, yang di dalamnya terselip doa tulus penuh harap kepada Allah.
Kalaulah Allah berkehendak menurunkan keberkahan, sangat mungkin, dari sepiring makanan tersebut, ia berbuah menjadi rasa akur antar tetangga. Dan itu bermula dari sepiring makanan yang penuh berkah.

3. Kriteria ke-3 bagi saya, kalaulah kita di hadapkan dengan berbagai pilihan kegiatan dan aktivitas. Maka prioritasnya adalah:
- utamakan yang wajib baru yang sunnah
- utamakan yang lebih banyak manfaatnya dan lebih sedikit mudharatnya
Tantangannya, bagaimana kita mengetahui mana yang terbaik? 😊
Di situlah kita harus senantiasa menjadi seorang penuntut ilmu. 
Menjadi seorang insan, apapun status aktivitasnya, menuntut kita untuk senantiasa belajar. 
Minimal, kita harus belajar:
1. Ilmu agama murni: Tauhid, Aqidah, Akhlak, Fiqih, Al-Quran
2. Ilmu tentang kesehatan, nutrisi, dan olahraga.
3. Ilmu lain yang sesuai dengan 'muyul', kecenderungan ketertarikan pada bidang ilmu tertentu yang memang sesuai dengan potensi dan bakat kita.

Seriusss... saya baru beberapa saat ini menyadari bahwa ilmu-ilmu tersebut penting banget. Karena kita hidup di tengah masyarakat yang notabene heterogen dan kadang bikin kita bingung ambil sikap dalam menghadapi sesuatu yang sedang bergulir. Misal kita tidak menyepakati suatu hal karena bertentangan dengan apa yang kita yakini, tapi kalau kita nggak sepakat dengan hal itu maka kita akan terkucilkan dari masyarakat. Eterus eterus eterus gimana dongs haha... itu pentingnya kita harus belajar ilmu-ilmu di atas tersebut (minimal), untuk membentuk prinsip hidup, pada hal-hal mana yang kita harus tegas dan lunak.

Banyak yang harus dipelajari? 😊

Iya. Emang.
Tapi itu semua sangat sedikit jika dibandingkan dengan nilai sebuah pahala, keberkahan. Dan surga dari Allah SWT.

Hidup kita hanya sekali.
Jadikanlah ia bermakna.. dan tiket kita berpulang ke surga.
Tanpa ilmu, bagaimana cara kita meraihnya?


Kadang yaa ada juga yang rasanya jadwalnya begitu padat, kalau dilihat kasat mata tuh udah lah itu itungannya produktif, tapi kenapa merasa waktunya terbuang percuma(?). Mungkin ada yang perlu ditelusuri,
- apakah pekerjaan itu sesuai dengan 'muyul' (bidang minat) kita atau tidak(?)
- apakah dalam pekerjaan tersebut terdapat manfaat atau tidak(?)
-apakah pekerjaan tersebut melibatkan maksiat yang mengurangi atau bahkan menghapus keberkahan atau tidak(?)

Karena,
Seharusnya amal kebaikan yang satu, akan membimbing kepada amal kebaikan lainnya. Seharusnya, setelah beramal shaleh, kita akan merasakan kepuasan syukur lahir dan batin. Allahualam bishawab. Itu cuma berdasarkan perasaan pribadi saya huks.


Sebenernya ya... di tengah masa gundah saya menjalankan peran pasca kampus agar tetap produktif kala itu, saya ngerasa nggak ada lagi yang bisa saya lakukan, kecuali,
Untuk tetap bergerak semampu saya, untuk tetap berdoa sebisa saya.
Dan justru episode terindah, adalah ketika kita menyadari bahwa kita tidak mampu melakukan sesuatu, dan hanya Allah lah yang mampu menyelesaikannya.
Terbukti! Allah kasih saya jalan-jalan kemudahan untuk memanfatkan waktu saya dari hanya sekedar glepah-glepoh di kasur tadi wakakakaka. Percayalah, siapapun yang berjalan, akan menemukan.


Saya masih belajar... Masih jauh dari produktif dan sholihah versi saya. Semoga, kita semua, mampu menjadi luar biasa menurut versi kita. Versi peran terbaik yang Allah titipkan pada kita. Agar kita semua, akan menemukan penghujung kehidupan kita, sebagai sesuatu yang penuh makna.. Husnul khatimah :")
continue reading Be A Productive

Minggu, 01 Oktober 2017

Warisan Kemiskinan

Hari ini teman saya mengunjungi saya. Kami bermaksud untuk menghabiskan waktu bersama. Kami tinggal satu kota sejak satu tahun terakhir, tapi tak pernah bertemu dan mengobrol bersama. Maka hari ini kami berdua meng-azzam-kan diri untuk tidak jadi generasi menwa (MENtal WAcana) hehehe.


Yogyakarta beberapa hari terakhir begitu basah. Mungkin memang sudah saatnya musim hujan(?) setelah saat ini kita tidak bisa mematok bulan hujan seperti pelajaran IPS di SD dulu(?)

Kadang kami ngobrol, tertawa, sepanjang perjalanan itu... hingga handphone teman saya berbunyi. Ternyata ibunya yang menelpon, agaknya mereka sedang membicarakan hal yang serius. Maka sejurus kemudian, saya berkamuflase menjadi tempat tisue di dalam mobil; atau menjadi jok tempat duduk kami(?) Saya mulai mencari kesibukan sendiri. Yap! Menempelkan pipi di kaca jendela mobil yang dingin ditambah tetesan-tetesan air hujan yang menempel di luar jendela membuat perut saya ikut adem *apa hubungannya(?)*


Lalu pipi saya serasa bergetar, tuk tuk tuk... cepat-cepat saya angkat pipi dari kaca mobil. Ternyata ada anak laki-laki usia 8 tahunan yang membawa ukulele sedang mengetuk-ngetuk kaca mobil kami yang tengah menunggu lampu hijau, tepat di pipi saya berada. Dia menganggukkan kepalanya, isyarat meminta izin kepada saya yang memandangnya dari dalam mobil untuk mulai unjuk gigi. Saya tidak begitu mendengar dia menyayi lagu apa, suaranya samar-samar dihajar riuhnya tetesan air hujan. Kasihan sekali, rambutnya -yang kalau saya jadi ibu gurunya pasti akan saya potong sembarangan karena terlihat amat tidak rapi- lepek, kaos tipis yang lengkungan kerahnya melebar hingga hampir setengah dada plus kebesaran itu pun basah kuyup. Secepat kilat saya berhenti melucutinya dengan mata saya, “Zil Zil duit duit buruan duit sini!”, ucap saya kepada teman saya yang masih ditelpon ibunya, sambil saya membuka ziplock tas saya untuk mencari dompet. Saya mulai menurunkan kaca mobil, saya julurkan tangan saya dan anak laki-laki itu menyambut tangan saya sambil tersenyum. Dia sudah memasang kuda-kuda untuk kembali berlari hingga saya teringat bahwa saya punya sesuatu “Kamu mau jajan? Aku punya jajan lhoh.”, “Mau mbak.” jawabnya. Lalu saya buru-buru mengambil bungkusan-bungkusan yang kami beli tadi. Makanan itu bukanlah makanan-makanan sehat untuk si anak lelaki itu huks. Karena makanan-makanan itu adalah makanan termicin yang bisa jadi membuatnya akan semakin terbodohi hidup di dunia yang fana ini. Tapi kami hanya memiliki itu untuk kami bagi. “Akeh banget mbak. Makasih mbak” lalu dia berlalu setelah saya memberikan senyum terakhir padanya.


Mata saya mengikutinya hingga punggungnya tak tampak lagi karena tertutup kendaraan-kendaraan yang lain. Saya... emmm selalu merasakan perasaan yang sama tiap kali melihat anak-anak atau orang sangat tua yang terlampau tua(?) berada di jalanan. Semacam ada es batu yang ditempelkan di jantung hati saya dan membuat saya merasakan agak sedikit perih, panas saking dinginnya, geli *asudahlah saya tidak pernah baik dalam hal mendeskripsikan perasaan*


Saya mulai menghadapkan badan saya kembali ke depan, menghembuskan nafas yang berisik, menyandarkan kepala ke tempatnya yang terlalu ke belakang –saya rasa-. “Lo ngajarin orang jadi males Mon” teman saya mulai mengeluarkan suara, sesaat setelah ia mengakhiri obrolannya dengan sang ibu lewat telpon. “Kok lo ngomongnya gitu sih Zil. Lo nggak tau Zil... nggak semua orang jadi miskin gara-gara mereka males.” jawab saya.


Sadar nggak sih, banyak dari kita yang cara berpikirnya selalu menghubung-hubungkan miskin sama malas. “Kamu tuh belajar yang rajin!!! Biar nanti hidupnya enak. Kalau males-malesan nanti kamu jadi orang miskin!” hayolooo siapa yang zaman kecilnya sering dapet ocehan itu saat males belajarrr? Wakakaka.


Saya berteman dan mulai mengenal begitu banyak orang heterogen dari berbagai lapisan masyarakat selama 24 tahun hidup yang sudah saya jalani. Mengenal banyak orang menjadikan saya memperoleh pemahaman baru bahwa kemiskinan bukanlah melulu soal malas. Sebaliknya, ada kesempatan dan takdir yang berperan pula membawa mereka ke kondisi kemiskinan. Berteman dengan anak penjual rokok digerobak kecil, penjual bumbu dapur di emperan pasar (bukan punya kios ya, tapi yang ngemper doang gitu), ataupun anak seorang tukang cuci (single parent) membuat mata saya terbuka terhadap kemiskinan itu sendiri.


Saya masih ingat betul kala itu, ibu dari teman saya memarahi teman saya habis-habisan karena menghilangkan uang 500 rupiah, saat itu saya memandang ibunya terlalu lebay. Namun, ternyata dia mengatakan 500 rupiah adalah 1/10 total pendapatan keluarga mereka dalam sehari. Saya jadi bisa membayangkan betapa berharganya uang 500 rupiah tersebut bagi mereka pada saat itu.


Hal itu membuat saya tersadar betapa dekatnya saya dengan kemiskinan, saya beruntung dan bersyukur karena memiliki orang tua yang tahu pentingnya pendidikan dan membiarkan saya fokus belajar tanpa saya harus perlu pedulikan biayanya. Tentu saja, ini semua juga tidak terlepas dari izin Allah SWT membiarkan saya memiliki takdir strata sosial yang ini. Meskipun begitu, saya tetap mencoba menjejakkan kaki tetap ke bumi untuk melihat realita kemiskinan dari kacamata mereka.


Oleh sebab itu, saya suka rada sedih saat dengan entengnya ada yang berkomentar kalau kemiskinan itu akibat dari mereka yang malas belajar atau berusaha. Come on, lo kayaknya pikniknya kejauhan dehhh.


Semakin jauh saya melangkah, saya mulai berteman dengan orang kaya, yang kalau ingin menenangkan diri tinggal bilang "pengen bla bla bla" maka tiba-tiba di IG mereka betebaran foto-foto di Maldives. Dari pergaulan itu saya semakin menyadari kesenjangan itu nyata adanya. Saya pernah ketemu anak orang kaya yang emang dari orok emang udah kaya. Dari kecil udah di-les-in bahasa inggris, lahir di luar negeri dan keluar negeri bukanlah hal yang ‘wah’ buat dia, jadi ya bahasa inggris buat dia kayak ngomong di pasar aja. Dapat buku ini itu tinggal nunjuk tanpa mikir harganya berapa. Kalau pas lagi jalan sama dia tiba-tiba semua orang bakal baik sama lo ckckckck sumvahhh fanaaa fana emang ye dunia. Circle pergaulannya nggak jauh-jauh dari anak pejabat; konglomerat. Habis lulus, langsung dapet kerjaan enak tanpa perlu nunggu macem kita-kita ini. Sampai sekarangpun dia tetaplah kaya (ya eyalah). Terus? Dia ini apakah jadi sukses seperti sekarang karena kerja keras tanpa mengenal lelah sampai kayang koprol? Ha?


Beda cerita, ada anak yang dari SD SMP pinternya banget. Bapaknya pedagang asongan. Si anak ini tiap sekolah bawa gorengan yang dia ambil dari tetangganya untuk dititipkan di kantin sekolah, pendapatan yang 100 rupiah pergorengan dia kumpulkan untuk biaya sekolah dan jajannya. Tapi sayangnya dia tidak bisa melanjutkan sampai SMA karena dia harus menggantikan bapaknya yang sakit untuk berdagang asongan. Terus, apakah dia tidak bisa menggapai cita-citanya dan gagal melanjutkan sekolahnya gara-gara dia adalah pemalas dan seorang yang bodoh? Ha?


Ini cuma contoh kasus, banyak juga saya menemui orang yang miskin dan akhirnya sukses atau meraih pendidikan tinggi. Yang saya ingin bilang adalah, ada baiknya kita mulai merenungkan kembali bagaimana nasib kita ‘yang lebih baik’ dapat mencapai titik sekarang ini. Meng-oversimplify bahwa kemiskinan adalah resiko dari kebodohan dan kemalasan adalah contoh tidak open-minded nya kita melihat realita yang ada. Butuh kerja yang ekstra bagi orang miskin (dibandingkan yang tidak miskin) untuk mendapatkan akses informasi atau ilmu yang dapat menunjang karir kesuksesannya atau pendidikannya. Yassalam... boro-boro mikirin begitu ya, kebanyakan mereka tidak punya waktu untuk belajar karena mengisi perut adalah prioritas utama.


Jadi, tidak jarang mereka (orang miskin) lebih keras bekerja dibandingkan kita ini (kelas menengah). Mereka terpaksa melakukan itu karena kemiskinan yang diwariskan kepadanya, dan akhirnya hal itu yang terus memaksa mereka menjadi miskin. 


Seorang kakak pernah bilang bahwa, kemiskinan tidak bisa diselesaikan oleh satu ilmu terapan saja, butuh komprehensif konsep, ide dan aksi nyata. Tentu saja itu tidak mudah, tidak semudah mulut saya yang nggak tau diri dan banyak omong ini, tapi semoga jadi reminder. Kalau takdir Allah begitu baik untuk kita dipercaya sebagai orang kaya yang mampu memberikan fasilitas pendidikan terbaik ke anak-anak nanti, kita tetap jadi orang yang tidak banyak tingkah mengolok-olok kemiskinan yang telah menjadi warisan. Atau minimal, kita mampu mengingatkan sesama kelas menengah, untuk tidak menyalahkan si miskin karena kemalasannya.
continue reading Warisan Kemiskinan

statistics

Bukan pakar, mari sama-sama belajar. Pun bukan ahli, mari saling berbagi | Melangit dan Membumi

Diberdayakan oleh Blogger.

Contact