Jumat, 09 September 2016

Menempatkan Diri

Laki-laki adalah pemimpin bagi wanita. Itu adalah hal yang ditekankan oleh salah satu organisasi yang saya tekuni semasa SMA dulu. Sebisa mungkin, untuk pemilihan ketua apapun, yang boleh menempati posisi pimpinan itu adalah kaum adam. Jujur saja, ini adalah hal yang cukup baru dan sedikit menimbulkan konflik dalam diri saya. Saat duduk di bangku SD dulu, saya pernah menjadi pemimpin di kelas *yaa walaupun ini skala pemimpin tingkat receh sih haa. Apa yang bisa seorang bocah ingusan lakukan untuk memimpin bocah ingusan lainnya(?)*. Pengalaman yang saya dapatkan sejak kecil inilah yang akhirnya membentuk kepribadian saya menjadi cukup dominan di antara teman-teman. 

Seiring berjalannya waktu, pemikiran saya soal kepemimpinan pun mulai berubah. Saya sudah mulai sepaham dengan ajaran yang diberikan di organisasi SMA saya dulu. Namun, ketika masuk ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, yaitu kuliah, sepertinya saya harus kembali mengalami penyesuaian. Di jurusan saya yang mayoritas terdiri dari mahasiswi, mau tidak mau, untuk beberapa kepanitiaan maupun organisasi, pemimpinnya adalah seorang wanita. Walaupun di kampus, saya tidak pernah menjadi pemimpin sebuah organisasi sih, hanya sebagai pimpinan departemen saja, dan beberapa kepanitiaan saya sempat memegang jabatan menjadi seorang pemimpin. Aktif di beberapa organisasi kemahasiswaan dan kepanitiaan akhirnya kembali memunculkan sifat dominan dalam diri saya yang sudah sempat teredam selama di SMA dulu.
Aaa ya, saya ingat suatu momen. Kala itu saya menjadi salah satu calon ketua BEM di fakultas, dengan pasangan wakil yang juga perempuan. Sebenarnya, kala itu kami sudah menempuh jalan-jalan yang harusnya terlebih dahulu dilalui sebelum akhirnya menjadikan perempuan ikut ambil bagian dalam pencaturan kepemimpinan. Sudah :) Tapi qadarullah, memang seperti inilah yang akhirnya terjadi. Ada surat kaleng yang masuk ke saya, ya itu tadi intinya. Mempertanyakan mengenai kepemahaman saya terkait kedudukan perempuan sebagai seorang pemimpin. Apa yang saya lakukan membaca surat tersebut? Senyumin bidadari aja(?) Ada proses hingga titik tersebut yang tidak diketahui secara publik. Sudah ada beberapa jalan yang juga diupayakan.

Di akhir masa kuliah, saya, sebagaimana wanita pada umumnya, mulai memikirkan konsep pernikahan dan berkeluarga *mukelujauhmon*. Sebenarnya, sejak duduk di SMA, ibu saya sudah pernah mengingatkan akan peran seorang wanita dalam kehidupan pernikahannya nanti, yaitu bahwa wanita memiliki peran dan tugas utama sebagai seorang istri dan ibu. Itu sebabnya ketika dulu saya ingin masuk ke jurusan sosial untuk nantinya menjadi seorang wartawan (yang saya pikir kerjaannya bisa plesiran kesana kemari) –zaman itu lagi heboh kasus Mutia Hafidh yang disandera di Iraq saat sedang tugas meliput. Sama ini, film ‘My Name is Khan’ yang dua-duanya bisa di-underline bahwa jadi wartawan itu kerennn ya kaaan ya kaaan- tidak di accept oleh ibu saya. Karena hal inilah, akhirnya saya memutuskan untuk menjadi seorang biologiwan(?) dan mulai memikirkan jenjang karir yang memiliki waktu kerja yang fleksibel sehingga kelak saya bisa tetap bekerja dan memberikan manfaat untuk masyarakat tanpa perlu meninggalkan kewajiban utama saya sebagai ibu dan istri di rumah. Menurut saya, dalam sebuah pernikahan, tentulah seorang suami yang harus menjadi pemimpin utama, dan istri bertugas menjadi pendampingnya. Jadi, sudah pasti, suami saya adalah lelaki yang jauh lebih dominan dari saya.

Sejak awal merencanakan masa depan, saya sudah memiliki pemikiran bahwa setelah menikah, saya akan mengikuti apapun arahan suami saya. Intinya, rencana hidup saya ke depan, ada di tangan suami saya. Lucu ya? Saya yang sebelumnya adalah seorang wanita yang cukup dominan dalam kehidupan kemahasiswaan kini malah akan menyerahkan kehidupan saya ke depan kepada lelaki yang mungkin baru saja saya kenal *hmmnyehhh*. Saya menganggap pernikahan sebagai ibadah terbesar dalam hidup saya yang harus saya jalani dengan optimal. Dengan menikah lalu menjadi istri dan seorang ibu, insya Allah, jalan saya untuk mensyukuri kehidupan dan beribadah kepada Allah akan terbuka dengan sangat luas. Ada banyak sekali perintah Allah dan sunnah Rasulullah yang menyatakan bahwa istri yang baik adalah yang taat kepada suaminya. Oleh karena itu, saya meyakini bahwa untuk menjadi istri yang baik, suami dan keluarga benar-benar harus menjadi prioritas dalam hidup saya  nantinya dan itu berarti saya harus bisa mengurangi banyak sifat dominan dalam diri saya. 


Saya sama sekali tidak menyesali paradoks cara berpikir saya yang seperti itu. Menurut saya, sikap dominan yang dulu saya miliki memang dibutuhkan di masa mahasiswa dalam aktualisasi diri saya sebagai mahasiswa. Dan, nanti, saat saya sudah menjadi seorang istri dan ibu *yang entah kapan*, saya pun harus kembali mengaktualisasikan diri saya dengan cara yang berbeda. Saya sangat bersyukur memiliki ibu seperti ibu saya, yang selalu mengingatkan anak-anaknya agar kelak di saat mereka dewasa, mereka harus dapat menempatkan diri sesuai tugas dan kewajiban yang mereka miliki. Semoga Allah selalu memberkahi. Aamiin :)

0 komentar:

Posting Komentar

statistics

Bukan pakar, mari sama-sama belajar. Pun bukan ahli, mari saling berbagi | Melangit dan Membumi

Diberdayakan oleh Blogger.

Contact