Jumat, 27 Mei 2016

Rayi (a.k.a Nenek)

Dua siluet terpantul di tanah penuh kerikil mengikuti langkah dua orang yang sedang menyusuri jalan kecil itu. Di pinggiran jalan itu, berbaring dengan tenang sebuah kali yang airnya selalu kuning sedalam lutut orang dewasa. Apabila musim hujan, kadang air itu melimpah melewati beton sederhana yang membendungnya. Disanalah anak-anak delapan tahunan berenang sampai lupa hari, mereka hanyut dalam euphoria pasca hujan, bermain dengan sangat amat gembira, segembira-gembiranya, seolah-olah esok hari akan keluar peraturan dilarang bermain air.
Perempuan kecil dan rayinya. Mereka berjalan kaki menuju sebuah surau kecil. Sebenarnya ada mushola yang lebih dekat, tetapi sang nenek memilih surau yang lumayan jauh dari rumah, entah kenapa. Jamaah di sana rata-rata orang dewasa, sedangkan musholla yang lebih dekat itu dipenuhi oleh anak-anak kecil 6-12 tahun yang kelewat labil. Mereka biasanya bermain di halaman musholla, berteriak-teriak sepanjang shalat tarawih, kemudian menjadi makmum di rakaat-rakaat terakhir, dan sengaja menyempatkan diri merusak bacaan amin dengan suara beroktaf-oktaf, tanpa rasa bersalah sedikitpun, membuat orangtua-orangtua mungkin mendumel dalam shalatnya.
Perempuan kecil dan neneknya terus menyusuri jalan di malam itu dalam diam. Dengan pendar-pendar gemintang Allah menjadi penerang, lampu-lampu rumah dari kejauhan, serta senter kecil di tangan perempuan kecil, yang sesekali ia mainkan fokusnya. Ia tembakkan cahayanya tak beraturan ke sekeliling, ke langit, ke bintang-bintang, ke kali, ke jalan, ke semak-semak di pinggir jalan, kemana saja untuk memastikan sekelilingnya aman.
Walaupun berkali-kali ia sibuk sendiri dengan senter kecilnya, namun perempuan kecil itu seringkali melangkah dengan mata terpejam. Mempercayakan arah pada neneknya yang erat menggandeng tangan mungilnya yang bebas senter. Wajar jika gadis kecil seusianya takut gelap, cahaya senter tidak membantu banyak, baginya memejamkan mata adalah sebuah perlindungan.
Ia sempatkan bergumam pada neneknya yang bertahan tidak banyak berkata-kata sepanjang perjalanan, bahwa ia merasa sedikit takut, bahwa ia seringkali merasa sedikit takut, terlebih-lebih pada gelap, lalu kenapa orang dewasa seperti tidak pernah takut berjalan dalam gelap? apakah mereka pura-pura berani? Bagaimana kalau tiba-tiba ada hantu? (?) Apakah semua anak kecil itu suka takut?
“Kenapa harus takut?.. Kita kan punya Allah, nanti kalau meninggal, di dalam kubur kita cuma sendirian.. sekarang kan masih berdua…”
Percayalah, kalimat itu berhasil membuat si perempuan kecil semakin takut menjadi-jadi. Baginya, sang nenek gagal membuatnya tenang. Meninggal? kuburan? bukan kata-kata itu yang ia harapkan, terlebih nanti mereka akan melewati pemakaman warga sebelum surau yang dituju. Itu justru membuat imajinasinya lebih liar, ada pocong (?), hantu berbagai variasi (?) yang kapan saja siap mencekiknya kemudian membiarkan mayatnya menjuntai-juntai di atas pohon (?), tanah lapang dengan kuburan-kuburan yang berasap-asap (?), serta interior kuburan yang mengerikan. Ia tidak terlalu mengerti makna “kita punya Allah” pada saat itu. Lalu kenapa kalau kita punya?? Ia justru semakin merapatkan diri berjalan di sebelah neneknya. Dalam hati ia berdoa semoga nenek tak akan pernah meninggalkannya sendirian.
***
Sejumput hikmah yang terpetik belasan tahun lalu, mungkin sepotong kisah yang terlalu konyol, tapi banyak kenangan yang membekas hingga sekarang. Tentang Ramadhan saat itu, malam-malamnya yang dihabiskan dalam scene yang sama, jalan kecil itu, kali itu, tentang rasa takut, tentang “kita punya Allah”, tentang nenek. Tentang kata-kata beliau, bahwa tak perlu takut pada apapun, tak perlu takut ditinggalkan, karena nanti di dalam kubur kita juga akan tinggal sendirianbahwa hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram...hmm…indah sekali.. Mungkin beliau tak sempat tau, bahwa kalimat “menakutkan” itu membekas, masih terekam dengan jelas bahkan belasan tahun setelah saat itu, dan jika masih ada sisa usia, maka masih akan terekam berpuluh tahun lagi…

0 komentar:

Posting Komentar

statistics

Bukan pakar, mari sama-sama belajar. Pun bukan ahli, mari saling berbagi | Melangit dan Membumi

Diberdayakan oleh Blogger.

Contact