Rabu, 10 Februari 2016

Dini

Dini namanya. 5 tahun. Cantik. Dia suka memakai baju, sepatu dan aksesoris merah muda. Rambutnya keriting kecil-kecil, mamanya suka menguncir ekor kuda rambutnya, pas dia lari-lari serasa melihat pegas di rambutnya. Bungsu dari 2 bersaudara. Rumahnya tepat di samping kost saya yang lama. Untuk anak seusianya, dia kelebihan kosakata. Wajar sih, dengan lingkungan di kompleks yang terdiri dari kakak sepermainan segala rentang usia, Dini kecil mudah belajar apa saja. Hingga tumbuhlah ia jadi gadis kecil yang lincah, terbuka, dan suka bercerita. Makanya saya bilang, untuk anak seusianya, dia kelebihan kosakata.
Dini sering bermain di kamar saya. Dia paling suka menyusun boneka-boneka di kamar saya, dia suka tertawa geli melihat Sema, kadang dia juga mengajak Darsem, bonekanya –yang tentu saja, saya yang memberi nama- untuk ikut bermain bersama Sema dan antek-anteknya(?). Kadang dia bercerita, yang membuat saya tertawa-tawa, yang kemudian membuat dia terdiam dan bingung kenapa saya tertawa-tawa. Ah, anak kecil, dengarlah cerita mereka, kamu akan tau sendiri bagaimana bisa kamu tak tertawa.

Terakhir Dini mengunjungi saya di kamar, gadis kecil itu sedang hobi-hobinya menulis. Saya memberinya selembar kertas warna dan sebuah spidol. Di lantai, dia meringkuk, menulis entah apa. Yang jelas saya terlalu fokus pada TA saat itu. Sesaat kemudian dia mendatangi saya dengan manja, sambil menyembunyikan sesuatu di belakang punggungnya, *seperti adegan di sinetron-sinetron, tapi ini kertas, bukan mawar* sambil tersenyum polos, membuat saya melihat ketulusan anak-anak melampaui karies-karies di gigi sulungnya.“Mbak Mona, Dini bikin ini buat Mbak Mona…”, katanya. Masih tersenyum.“apa itu sayang?mana?coba mbak lihat..”, pinta saya antusias, beralih dari TA.Dia perlahan membuka kertas yang ia sembunyikan, membiarkan saya membaca apa yang ia tulis.MbaMonacatik. Begitu yang tertulis disana. Tidak rapih. Tanpa spasi. Tapi saya tahu apa maksudnya . Maka ketahuilah seketika saya melambung hampir menabrak genteng. Bagaimana tidak. Katanya anak kecil tak pernah berbohong. Haha. Saya langsung memeluk Dini dan bilang kalau dia pintar. Wkwkwk. *begini nih kalau udah dipuji.-_-“*Dia tampak puas setelah saya bilang pintar. Kemudian langsung kembali ke posisi meringkuk untuk mulai menulis lagi.

Adegan sinetron kembali terulang. Dini menyembunyikan kertas di belakang punggungnya dan perlahan menunjukkannya pada saya.Semacantikkayak mbamona. Maka saya yang tadi sudah melambung, jatuh terhenyak masuk ke empang. Oh, gadis kecil ini, jika dia 15 tahun lebih tua dari umurnya sekarang, saya sudah pasti mencari cara yang cocok untuk menyelesaikan masalah ini antar perempuan dewasa -__- . Bagaimana mungkin Sema yang kuning berkepala anjing dengan mata lentik bertubuh guling itu bisa disama-samakan dengan saya? Dimana martabat saya? Tapi itu setidaknya lebih baik daripada yang ia tulis adalah “mbamonacantikkayaksema”. Melihat senyumnya yang lepas, seolah ia telah melakukan hal besar, saya balas tersenyum getir dan sedikit protes “kok kaya Sema sih? hiks”. Dia jawab, “iya, Sema itu juga cantik”. Saya bingung antara harus tertawa atau mencari tali buat gantung diri(?). Seketika dia kembali ke posisinya. Sepertinya tahu bahwa dia dalam keadaan bahaya. Kemudian meringkuk dan mulai menulis lagi.

Ya. sudah bisa ditebak. Adegan sinetron kembali terulang.Sekarang dia menulis “bebekcantikkayakayam”. Pukulan telak untuk orang yang kelewat narsis seperti saya. Saya yang tadi sudah melambung dan kemudian jatuh terhenyak masuk ke empang, tiba-tiba mencari jalan raya untuk menggaruk-garuk aspal. Pada akhirnya saya malah tertawa lepas. Menertawakan diri sendiri. Sementara Dini, Dini masih dengan senyum yang sama, senyum yang pantas disunggingkan setelah menerima nobel.Saya tahu anak kecil penuh kejujuran, mereka tidak bisa berbohong, tapi saya lupa, mereka juga tidak mengenal dikotomi. Terlebih lagi, saya tidak mengerti definisi cantik menurut Dini. Ah, anak-anak… Betapa bersihnya jiwa mereka… *dan tolong, tidak ada kesimpulan: saya kayak bebek. ataupun ayam.

Baiklah. Saya rindu masa kanak-kanak.

0 komentar:

Posting Komentar

statistics

Bukan pakar, mari sama-sama belajar. Pun bukan ahli, mari saling berbagi | Melangit dan Membumi

Diberdayakan oleh Blogger.

Contact