Sebab media telah menjadi kiblat gaya hidup, sontak
segala sajiannya menjelma konsumsi masyarakat yang kemudian begitu tangguh
memengaruhi gaya hidup. Termasuk dalam hal jalan-jalan. Sebutlah sebuah acara televisi yang isinya adventure gitu yang muncul di tengah menjamurnya acara epleketek ala remaja-remaja lebay–alay dalam
sinetron-sinetron percintaan aduhai yang skripnya sama sekali tak layak
diterbitkan.
Acara ini gemilang menularkan virus jalan-jalan,
bahkan fan base-nya
tersebar di berbagai kota. Kausnya? Jangan tanya lagi, bahkan tukang ojek di
pasar hingga tukang tambal pun memakainya dengan bangga.
Oke, tulisan ini tidak hendak membahas kaus
acara TV tersebut—yang entah karena pertimbangan apa kemudian juga disisipkan logo National
Geographic—melainkan tentang tren jalan-jalan, khususnya di kalangan anak muda.
Ini jelas berita bagus, mengingat para pemuda memang seyogianya bertualang,
melihat dunia luar, membuka jiwa dan pikiran, agar tak menjadi katak dalam
tempurung atau lalat dalam stoples *plakkk*. Tak usah cemas, sebuah negara
tidak akan kekurangan sosok pemimpin jika generasi mudanya sering bertualang ke
hutan, gunung, dan lautan, demikian kata Henry Dunant (dan saya hehehehe).
Sayangnya, pada sebagian kasus, banyak pemuda baik
yang terjangkiti virus jalan-jalan dan bertualang justru menyumbang kerusakan
lingkungan. Andai Henry Dunant masih hidup, ia mungkin akan meralat fatwanya.
Terlalu banyak pejalan dan petualang yang bermasa
bodoh pada sampah-sampahnya. Adanya tempat-tempat sampah, plus tulisan dilarang
membuang sampah sembarangan, hanya dianggap aksesori. Celaka lagi bila
seseorang sampai tega berkata, “Kita masuk ke sini bayar, kok, ngapain harus
susah-susah bawa sampah, nanti juga ada petugas yang membersihkan. Buang sampah
bukan urusan gue, dong!”
Ini belum termasuk perilaku orang-orang yang dengan
santainya membuang sampah ke jalanan sambil menyetir motor atau mobil. Mencari
adegan demikian sungguhlah jauh lebih mudah ketimbang mencari jodoh(?). Dalam
sebuah perjalanan Jogja–Salatiga, beberapa anak muda berboncengan motor dan
membawa carrier berukuran enam puluh liter, lengkap
dengan matras dan sepatu tracking,
yang dapat dipastikan hendak naik gunung, secara mengejutkan melempar seplastik
sampah ke pinggir jalan. Ya Tuhan, jika di jalan raya saja bisa seenak udelnya
begitu, apalagi di gunung? Dogma jangan
meninggalkan sesuatu selain jejak hanya
omong kosong bagi mereka, karena mereka pun meninggalkan sampah. *ini omelan
orang yang sedang iri karena lihat orang lain mau naik gunung. Hmnyehhh*
Lebih mengerikan lagi jika sampah yang mereka
tinggalkan adalah puntung rokok yang belum sepenuhnya mati. Puntung rokok
berserakan di antara rerumputan bersama sisa api unggun di sekitar camping ground. Kalau saya nemu
orangnya, saya jejalkan putung rokok itu ke mulutnya -__- lumayan, bisa
menghangatkan perut. Ye kan?
Meski bukan satu-satunya penyebab, bagaimanapun,
puntung rokok dan api unggun yang tak tuntas mati sangat berpotensi memicu
kebakaran hutan. Kita tak bisa pura-pura amnesia pada penyebab kebakaran di
Gunung Lawu dan Semeru beberapa waktu lalu yang ditengarai akibat api unggun.
Belum lagi masalah lingkungan yang dipantik urusan
cinta dan romantisme. Tebak apa? Tak lain para pendaki-petualang yang memetik
edelweis untuk sang kekasih *ini hal bodoh banget menurut saya*. Lagi-lagi,
ungkapan jangan
mengambil sesuatu selain gambar hanya
isapan jempol. Saya teringat perjalanan pulang ke Jogja dari
Solo dengan bus. Ada seorang mas-mas yang baru turun dari Gunung Merbabu. Kami
sempat ngobrol selama di bus, lalu sejenak ia mengeluarkan kresek hitam berisi
edelweis yang masih segar, kemudian memotretnya. Mungkin ia mengirim foto
edelweis itu kepada kekasihnya dengan caption romantis bahwa edelweis adalah bunga
abadi yang melambangkan keabadian cintanya. Edelweis itu ilegal untuk dibawa
turun gunung cenah salah seorang adek saya. Kalau saya jadi perempuan yang
dikirimin macem begituan, saya suruh si mas mas itu naik ke atas gunung lagi,
balikin bunganya sampe nempel lagi di batang tanamannya, kalau engga bisa
nempel lagi, jangan turun!!! Yahh tapi sayangnya saya tidak pernah dapat
kiriman-kiriman yang macem begitu sih. Untung...
Halah, Le,
gombal! Jika menjaga lingkungan saja tidak bisa, bagaimana mungkin kuasa
menjaga cinta, menjaga hati kekasihnya? *hasseeggg* Saya akhirnya berkata ke
mas tersebut, jika ingin menunjukkan cinta kepada sang kekasih, akan lebih
manis bila mengajak kekasihnya melihat langsung pesona edelweis, bukan membawa
turun edelweis, jangan jadi bodoh dong mas :) *sambil
membubuhkan senyum bidadari di akhir kalimat saya. Teteupp itu mah, biar nggak
kena tonjok. Kan nggak lucu, turun dari bus bonyok-bonyok.*
Tak beda jauh dengan gunung, nasib pantai dan objek
wisata lainnya senasab saja. Pantai yang dulu sepi kini mulai dieksplor atas
nama petualangan, jelajah alam, tadabbur alam, atau istilah agung lain. Sayang,
tak semua orang punya kasadaran untuk tak meninggalkan sampah. Kesadaran
berwisata tak diimbangi kesadaran menjaga. Semangat bertualang tak dikawani
semangat mencintai alam.
Para ABG dan mahmud abas (mamah muda anak baru
satu) bersaing mencurahkan esksitensi di hadapan kamera. Pasukan tongsis
merajalela. Dengan semangat mengutamakan moncong monyong artistik
pragmatik—meminjam istilah Prie GS—di depan kamera untuk kemudian memamerkannya
di media sosial, tanpa merasa durja menginjak-injak tempat yang sudah di label
batas aman.
Jika demikian adanya, masih relevankah fatwa Henry
Dunant itu? Bagaimana mungkin pemuda yang tak bisa bertanggung jawab pada
sekadar sampahnya kelak dijadikan pemimpin? Bagaimana mungkin pemuda yang tak
bisa menjaga lingkungan sahih dipercaya menjaga negeri ini?
Segala sesuatu memang haruslah dimulai dari hal
kecil, salah satunya dengan cara bertanggung jawab tidak membuang sampah
sesukanya. Sesuatu yang makin (sengaja) dilupakan.
Dari sudut filosofi Jawa, dikenal istilah sedulur tunggal dino kelahiran untuk menyebut segala sesuatu, baik
tumbuh-tumbuhan maupun binatang, yang lahir bersamaan dengan kelahiran seorang
manusia. Jika setiap orang berpegang pada filosofi ini, niscaya mereka akan
seturut dalam menghargai dan menjaga alam demi menyayangi sedulurnya yang lahir di hari yang sama.
Tapi, itu “sekadar” filosofi. Munculnya “anak gaul”
yang hobi traveling,
bertualang, mengaku pencinta alam, justru lebih sering merusak alam. Saking
meluasnya jarahan kelompok ini, di media sosial bahkan beredar luas “komik
strip” untuk tidak mengunggah foto tempat wisata agar tidak dirusak mereka.
Pada derajat ini, traveling yang
seharusnya mampu mengayakan batin dan pikiran, menisbatkan kebijakan dan
kedewasaan, sebagai pengalaman berharga yang bahkan tak didapat di bangku
sekolah, menjadi sangat sering ambigu. Dalam celoteh Edi AH Iyubenu, traveling yang tidak mendonorkan makna apa pun
pada pikiran dan batin hanya akan menyisakan kerugian material, waktu, dan
energi. Ini sih alasan saya tiap bepergian ataupun mengunjungi suatu tempat yang
pernah punya banyak kenangan buat saya dulu, selalu saya simpan seluruh gadget
saya. Saya hanya ingin menjadi lebih bijak dan dewasa dengan hal tersebut,
memaknai perjalanan saya untuk menambah kekayaan batin dan pikiran. Thats
point!!!
Lepas dari nilai idealitas traveling sebagai urusan tiap pribadi yang
niscaya takkan pernah sejamaah, seyogianya para traveler berkomitmen kuat untuk selalu menjaga
alam dan seisinya. Sebab alam seisinya adalah titipan anak-cucu kita dari masa
depan. Soal seorang traveler berhasil
meraih sesuatu yang memperkaya batin, keberuntungan itu adalah miliknya.
Bilapun tidak, cukuplah kerugian materi, waktu, dan energi itu menjadi
tanggungan pribadinya.
0 komentar:
Posting Komentar