Rabu, 03 Februari 2016

Perempuan Pendaki

Rabu kemarin saya bertemu tiga perempuan pendaki gunung dari salah satu club Mahasiswa Pecinta Alam (Mapala) suatu universitas. Mereka tergabung dalam tim women of Indonesia's seven summits expedition. Sejauh ini Mereka sudah menjejaki tiga puncak: Carstensz Pyramid, Elbrus dan Kilimanjaro. Hari senin (11/1) mereka bakal berangkat ke puncak ke-empat, Acocagua, Argentina.

Mungkin di mata sebagian orang di luar sana, mendaki gunung itu kegiatan yang kurang feminim. Berbahaya. Dan lain sebagainya. Jadi pernah ada suatu cerita... Suatu ketika Ibu saya membereskan lemari baju saya, dan menemukan rok saya yang sudah compang-camping, robek gedeee banget hehe.
Di tanyalah saya,"Ini dibuang aja ya. Habis ngapain sih kok sampe gini rok nya?"
"Naik gunung." jawab saya sambil tetap menyapu lantai.
"Ha? Mbak masih sering naik gunung? Ga pensiun? Kan udah pake rok... Naik gunungnya pake rok gitu?" tanya Ibu saya lagi sambil mendekatkan wajahnya.
"Hu'um. Naik gunung. Pake rok." jawab saya sekenanya.
"Tapi dalemnya masih pake celana?" tanyanya.
"Iya masih pake dong. Pake celana training hehe." jawab saya.
"Ya mending sekalian pake training aja. Ngapain pake rok kalau gitu, pasti roknya juga kamu angkat-angkat kan pas naik gunung? Sampe babak belur gini roknya. Atau kalo mau pake rok, ya gausah naik gunung." gerutu Ibu saya.
"Lhoh? selama kita bisa mengusahakan untuk tetap berpakaian begitu (red: rok, jilbab menutup dada, kaos kaki dll) bukannya harus ya bu. Ya aku rasa bisa kok tetep pake rok mendaki. Udah beberapa gunung aku lalui pake rok, Alhamdulillah aman tuh." kali ini saya mulai menjawab dengan serius.
Bapak saya yang sedari tadi mendengarkan percakapan kami, tiba-tiba ikut nimbrung,"Mbak tahu ga kenapa orang pondok zaman dulu (identik dengan) pada pake sarung? Ya karna aktifitas-aktifitas mereka adalah aktifitas yang masih dalam taraf 'bisa' kalo pake sarung tersebut." katanya.
"Terus?" kata saya.
"Belajar lagi aja dulu." Bapak mulai naik sepeda lengkap dengan peralatan bike nya.
Ihhhhhhhh -_- *Sampai sekarang saya belum belajar tentang hal ini. Saya belum tau apa yang dimaksud Bapak saya. Jadi tulisan ini jangan terlalu dimasukkan ke pikiran ya... karena sesungguhnya saya belum tau yang benar yang mana. Saya baru keingat kalo saya disuruh belajar tentang hal ini ya pas ketemu 3 pendaki perempuan tadi hehe. Saya berjanji setelah saya dapat jawaban tentang hal ini, saya akan edit postingan ini. Kyu kyuuu*

Saya memang sudah sering mendaki sejak zaman SMA *tapi dulu masih pake training longgar hihi*, dulu saat nenek saya tau, nenek saya langsung nasehatin, lisa tuh perempuan, jangan terlalu berani dan lain-lain. Padahal pikiran seperti ini yang seharusnya disingkirkan. Baik perempuan maupun laki-laki, manusia harus bisa jaga diri. Sama halnya seperti cerita ketiga perempuan yang mau mendaki tujuh puncak tertinggi di dunia ini. Di luar tujuan membanggakan universitas dan kepuasan batin, mereka punya misi yang lumayan besar juga, membuka mata orang-orang bahwa perempuan juga sanggup melakukan hal-hal besar. Satu pertanyaan iseng yang saya tanyakan buat ketiga perempuan ini, apakah mereka lantas merasa 'keperempuanan' mereka menurun ketika mendaki gunung yang notabene di mata orang lain tergolong kegiatan maskulin? jawabannya membuat mata saya kriyep-kriyep *bahasa apaaa ini*. "Karena kami para perempuan pendaki tergolong minoritas di antara laki-laki pendaki, justru kami merasa jauh lebih perempuan." 

0 komentar:

Posting Komentar

statistics

Bukan pakar, mari sama-sama belajar. Pun bukan ahli, mari saling berbagi | Melangit dan Membumi

Diberdayakan oleh Blogger.

Contact