Jumat, 19 Juli 2013

EKSISTENSI AKTIVIS MAHASISWA DAN AKADEMIKUS (Dilema Mahasiswa Fakultas Eksakta) (Oleh: Monaliza)

... dan ilmu itu bukan untukmu sendiri. Tetapi ialah untuk anak cucumu, untuk bangsa Indonesia, untuk rakyat Indonesia, untuk  tanah air Indonesia dan untuk Negara Republik Indonesia (Ir. Soekarno – Pidato untuk Mahasiswa AS 1956).

            Banyak orang menganggap menjadi seorang mahasiswa adalah sesuatu yang membanggakan, karena menjadi mahasiswa bagi sebagian masyarakat berpendapat bahwa mereka adalah orang yang cerdas, berpendiddikan, mempunyai pola pikir yang lebih maju. Dilihat dari fenomena ini apakah seorang mahasiswa yang mempunyai IPK tinggi atau organisasi mahasiswa, mana yang lebih berguna? Hal ini cukup beralasan mengingat bahwa ada mahasiswa yang lebih mementingkan nilai yang sempurna sehingga di akhir semester mereka mendapatkan IPK tinggi dan memuaskan yang konon dapat menguntungkan mahasiswa itu sendiri. Tak sedikit mahasiswa yang galau menentukan perannya untuk menjadi aktivis atau kaum pragmatis yang berorientasi pada akademik semata. Setidaknya hal itulah yang saya lihat di kalangan mahasiswa Fakultas Sains dan Matematika (FSM) Universitas Diponegoro.
            Dimana pun para mahasiswa menjatuhkan pilihannya mengenai peran yang mereka inginkan, itulah hak mereka tanpa ada orang lain yang berhak menginterfensi. Melihat kultur  pembelajaran di Fakultas Sains dan Matematika yang notabene adalah fakultas eksakta dengan berbagai kegiatan praktikum, menjadikan salah satu alasan klasik bagi mahasiswa untuk menjadi kaum pragmatis dengan berorientasi pada bidang akademik.
IPK terkadang memang dijadikan sebagai tolak ukur untuk menilai kemampuan mahasiswa dan juga kompetensi yang dimiliki oleh para mahasiswa. Tapi, belum tentu IPK benar-benar merupakan tolak ukur yang tepat, karena nilai yang tinggi belum tentu mencerminkan kepribadian yang tinggi pula. Karena IPK tinggi hanya pencerminan dari kecerdasan intelegensia (IQ) saja padahal selain IQ ada juga kecerdasan lain yang merupakan faktor penentu suksesnya seseorang yaitu kecerdasan emosi. Ketika terjun di masyarakat, kecerdasan emosi mempunyai peranan yang cukup besar dalam kesuksesan seseorang, karena pribadi yang tangguh dan pantang menyerah dalam menghadapi beberapa cobaan itu lebih baik daripada seorang jenius yang bermental lemah dengan menyerah dalam menghadapi beberapa kegagalan.
            Jangan beranggapan dengan adanya mahasiswa pragmatis, FSM menjadi langka aktivis mahasiswa. Sebaliknya, di FSM banyak mahasiswanya menyadari bahwa  peran mahasiswa bukan hanya menonjolkan IPK bagus saja. Mereka menyadari bahwa pemuda memiliki peran yang alamiah yakni kepeloporan dan kepemimpinan dalam menggerakkan potensi dan sumber daya yang ada pada masyarakat. Dan tugas pemimpin pemuda adalah membangun semangat, kemampuan, dan pengalaman. Disadari atau tidak, organisasi mahasiswa merupakan lahan untuk kita berlatih akan hal tersebut. Standar menjadi aktivis itu mempunyai soft skill untuk mendukung prestasi yang akan diperjuangkannya.
Menbaca quote dari Ir. Soekarno di awal tulisan ini, tampak betapa besarnya peranan mahasiswa yang diharapkan bukan hanya pada tahun itu, namun hingga sekarang pun diharapkan mahasiswa mempunyai jiwa dan sosok tangguh yang bukan hanya memikul tanggung jawab estafet pendahulu tapi juga pribadi yang potensial untuk mengemban titah kebhinekaan. Mahasiswa layaknya aset besar yang berharga sekaligus ruh suatu negara.
Mereka sudah siap menanggung segala resiko sewaktu akan bergabung menjadi aktivis mahasiswa. Gambaran tentang kesibukan bagaimana dihimpit waktu untuk menyelesaikan kewajiban sudah dipikir masak- masak oleh para aktivis mahasiswa. Mereka sangat mengerti aturan dalam sistem perkuliahan dan mereka mampu bersaing dengan mahasiswa lain yang sepenuhnya bisa mengikuti perkuliahan. Mereka juga sangat aktif dalam mengikuti pembelajaran yang sedang berlangsung, misalnya mereka selalu merespon diskusi kelas dan jika mereka kurang memahami suatu materi yang disajikan, mereka tak segan ataupun malu untuk mengajukan pertanyaan. Selain itu mereka mampu mengeluarkan ide- ide baru sebagai suatu inspirasi bagi mahasiswa lain. Ini juga termasuk nilai positif dari aktivis mahasiswa yang bisa juga menjadi mahasiswa yang kritis dalam menanggapi suatu masalah yang sedang marak terjadi. Menurut para aktivis mahasiswa ini, dengan banyak kegiatan, mereka bisa memperoleh berbagai wawasan dan pengalaman. Mereka juga berasumsi bahwa kelak ketika memasuki dunia kerja itu pasti banyak suatu perusahaan maupun lembaga yang membutuhkan seseorang yang mempunyai jiwa keorganisasian dan juga pengalaman meghadapi suatu pilihan dengan berpikir logis dan sistematis.. Dengan keyakinan tersebut mereka berusaha mengembangkan diri di bidang akademik dan kemahasiswaan.
Kini bukan zamannya lagi mahasiswa hanya kuliah-pulang-kuliah-pulang (kupu-kupu). Negeri ini tak hanya butuh generasi yang pintar secara intelektual dan mampu menyanjung atau menghujat saja, tetapi generasi pembaharu sekaligus penyambung lidah rakyat yang memberikan kontribusi dan manfaat. Jangan jadikan kepadatan jadwal akademik sebagai pembenaran untuk menghalangi kita melaksanakan peran sebagai mahasiswa yang memiliki “gelar” agent of change, agent of social control dan iron stock. Karna banyak kawan-kawan aktivis di fakultas kita yang juga berhasil dalam bidang akademik. Terjun dalam dunia organisasi dan menjadi aktivis mahasiswa tidak ada salahnya. Pengabdian dapat dilakukan dalam berbagai bentuk tergantung dari minat kita masing-masing seperti edukasi, kegiatan sosial, dan sebagainya. Indonesia membutuhkan pemuda-pemuda tangguh serta cerdas dalam kemampuan intelegensi maupun emosional untuk perbaikan bangsa ini. Kegiatan akademik maupun sebagai aktivis mahasiswa hendaknya diupayakan berjalan secara seimbang.
Saya rasa dibutuhkan pula apresiasi, ekspose dan pengakuan dari pihak birokrat dalam bentuk nyata bagi mahasiswa yang berprestasi dan tak jarang dari kalangan aktivis mahasiswa untuk membuka mata mahasiswa lain bahwa aktivis mahasiswa di FSM tidak melulu lekat dengan label aksi, bolos kuliah dan lain sebagainya seperti pandangan yang ada selama ini. Karena ekspose bagi mahasiswa FSM yang berprestasi maupun yang menjuarai suatu ajang dirasa kurang dikalangan mahasiswa FSM sendiri.
Saya ingin melalui tulisan ini, kita bersama-sama renungkan kembali. Untuk para aktivis mahasiswa, adakah metode yang selama ini digunakan mungkin kurang tepat sehingga menjadikan langkah gerakan perjuangannya tidak responsif, inklusif, dan sulit dipahami. Bagi mahasiswa yang saat membaca tulisan ini cenderung bukan aktivis, mungkin ada baiknya mulai mencoba mengapresiasi dan belajar membuka diri bahwa di luar sana begitu banyak yang membutuhkan aktivisme dan wujud nyata empati dari kita semua. (Monaliza / Bio ‘11) (Artikel yang didedikasikan untuk Buku Jejak DAGRI BEM FSM 2012).



REFERENSI

Zulfa, Alfaruqy M. Tawuran Ciderai Pancasila (Kedaulatan Rakyat, 22 November 2011). dengan berbagai gubahan yang disesuaikan.

0 komentar:

Posting Komentar

statistics

Bukan pakar, mari sama-sama belajar. Pun bukan ahli, mari saling berbagi | Melangit dan Membumi

Diberdayakan oleh Blogger.

Contact