Kamis, 03 Maret 2016

Yakin Disakiti? Ini hanya tentang Didewasakan saja

Pagi ini sebuah percakapan sederhana bersama seorang sahabat mengembarakan pikiranku ke berbagai penjuru. Saya tertegun bersimbah renungan panjang. Renungan saya yang bisa jadi juga merupakan renunganmu. Renungan setiap manusia yang berpikir.


“Everythings happen for a reason”

Hidup adalah rangkaian perjalanan, yang berisikan pertemuan demi pertemuan. Beberapa di antaranya ada yang bertahan. Dan beberapa lainnya ada yang melibatkan perasaan. Tapi itu bukanlah point penting dari pertemuan. Point pentingnya adalah: adakah dalam setiap pertemuan itu memberikan kita hikmah dan pembelajaran.

Pertemuan bukan soal siapa melukai dan siapa dilukai. Bukan juga soal siapa berkhianat dan siapa dikhianati. Apalagi soal siapa bertahan dan siapa meninggalkan. Bukan tentang itu. Jangan terjebak dengan permukaan, hingga lalai akan esensi. Ya, esensi. Maksud sebenarnya.

Mari memaknai.



Pertama.

Setiap pertemuan adalah murni kehendak-Nya. Tak ada yang kebetulan. Bukankah daun yang jatuh pun bahkan telah tergariskan? Maka Dia Sang Maha Besar, tak mungkin iseng-iseng mempertemukan manusia hanya untuk meramaikan suasana dunia. Semua pasti ada maksud-Nya.



Kedua.

Setiap manusia didewasakan dengan cara-Nya. Dewasa yang dimaksud tentu bukanlah soal deretan angka yang biasa kita kenal dengan sebutan: usia. Dewasa yang dimaksud adalah soal kepahaman seorang manusia tentang hakikat dirinya diciptakan, alasan diperjalankannya dia di atas bumi, diizinkannya untuk mencicipi nikmat demi nikmat yang tak henti mengalir. Sederhananya, dewasa adalah soal kesadaran diri sebagai hamba-Nya.

Tahukah? Ketika kita merasa dikecewakan, disakiti, dilukai, dengan berbagai cara, sesungguhnya disitulah kita sedang didewasakan. Kita sedang diberikan pelajaran penting bahwa dari serangkaian kepahitan hidup yang ada, yang terpahit adalah: berharap kepada manusia. Kapok? Tentu kapok. Lantas setelah kapok, maka enggan mengulangi lagi. Hingga akhirnya.. sikap yang muncul adalah hanya berharap kepada yang tak mungkin mengecewakan. Ya, Dialah Allah subhanahu wata’alla.


Mungkinkah kekecewaan itu terjadi begitu saja? Tidak. Proses pendewasaan seperti itu pasti membutuhkan perantara. Dan ‘manusia’ seringkali menjadi perantara paling ampuh. Sederhananya, mereka yang seakan mengecewakan, menyakiti, melukai, hanya dipinjam sebagai ‘alat’ oleh-Nya untuk mendewasakan. Layak kah kita membenci seseorang yang telah menjadi perantara proses pendewasaan kita? Tentu tidak kan. Justru mungkin kita perlu berterimakasih padanya. Maka jangan terjebak dengan permukaan, tapi lalai akan esensi, nanti akan sulit memaknai.



Based on my experience.

Dulu, saya sempat merasa heran saat mendengar pernyataan: lidah bisa lebih tajam dari pedang. Apa maksudnya? Nggak paham. Namun kini.. Allah membuktikannya. Beberapa waktu lalu (sudah lumayan lama sih. sekitar 2 tahun lalu, cuma baru 'sempat' menuliskannya sekarang haha), seorang kawan, (yang seharusnya jadi) kawan baik bahkan, tampak menyebarkan sebuah fitnah. Saya mengetahui hal ini bukan atas dugaan, juga bukan kata teman, melainkan atas bukti otentik tertulis yang tak mungkin bisa diubah. Seketika yang saya rasakan saat itu adalah sedih bukan main. Sedih sesedihnya. Kalimat yang muncul dalam benak saya saat itu hanyalah pertanyaan besar, “Kok bisa tega-teganya seorang kawan baik yang seharusnya saling menguatkan disaat seperti ini menyebarkan hal yang sama sekali tidak benar, tanpa bukti, dan tanpa konfirmasi (tabayyun) sama sekali.” Sepanjang hari hati saya kelabu. Lintasan kenangan baik dengan kawan lama tersebut seakan menjadi slide show, berputar bergantian di ingatan. Kok bisa? Kok tega? Sebenarnya fitnah itu tidak ditujukan langsung pada saya, tapi pada salah seorang teman saya lainnya yang kebetulan memegang amanah di satu lembaga, kebetulan saya ikut membantunya dalam 'mengurusi' hal yang dijadikan fitnah ini. Ikut sedih dong saya...


Sampai akhirnya seorang sahabat saya, yang menjadi korban dari cerita kurang tepat tersebut  malah yang mengingatkan saya, “Heh Monce, kenapa? haha", sapanya (saya tahu tawanya itu maksa. saya tahu dia juga pasti sedih *sotoy*)
"Kok ada orang sejahat itu ya, Ky," jawab saya masih dengan wajah murung.
"Udahlah, nggak usah dipikirin. Namanya juga manusia. Allah nggak tidur juga, Allah tahu apa yang kita kerjakan. Serahkan semua yang berada di luar batas kemampuan kita kepada Allah. Kamu nggak inget? Di setiap shalat kan kita berkomitmen: Hanya kepada Engkau aku menyembah, dan hanya kepada Engkau lah aku memohon pertolongan. Disini Mon pembuktiannya. Mana ke-hanyan-an kita ke Allah?” JLEB! Dia lho yang harusnya menjadi orang yang paling sedih, paling disakiti atas kejadian ini, ehh ini malah dia yang nasehatin saya. Amazing sekali memang sahabat saya satu ini.


Benar. Kalimat hanya akan jadi sekedar kalimat jika tidak dimaknai. Layaknya iyyakana’budu wa iyyakanasta’in hanya akan jadi hapalan jika tanpa pemaknaan. Maha Baiknya Allah.. Ia selalu punya cara untuk membuat hamba-Nya paham. Salah satunya dengan cara dibenturkan dengan kenyataan. Kasih masalah JEBRET! Langsung berpikir, tertatih merangkai makna demi makna.


Dalam setiap sujud, saya tenggelam dalam doa. Memperlihatkan titik terlemah diri di hadapan-Nya. Menyampaikan ketidak kuasaan diri dalam menghadapi dinamika hidup ini. Bersimbah air mata, dengan deru nafas yang terengah-engah sebab rasa sakit hati yang begitu dalam, tersayat oleh lidah kawan tersebut, yang ternyata benar.. bisa lebih tajam dari pedang. Tapi bisa apa? Semua yang terjadi, pasti atas kehendak-Nya. Maka Dia, pasti punya maksud.



“Ya Allah.. inilah aku, dengan segala kelemahanku, dengan segala dosa dan kekeliruanku, dengan segala kekhilafan dan kebodohanku.. datang ke hadapan-Mu setelah tersadar jangan-jangan kesulitan hidupku adalah karena aku terlalu mengandalkan diriku sendiri. Padahal.. laahaulla walla quwwata illa billah. Tiada daya dan upaya melainkan atas seizin-Mu. Aku, bisa apa? Ya Allah.. Engkau tahu apa yang terjadi. Engkau tahu apa yang tersembunyi dalam setiap hati. Engkau jauh lebih berhak menilai, sedangkan aku, bisa apa?”



Doa itu terpotong oleh suatu kesadaran yang hadir tiba-tiba. Tak ada yang menyakiti, tak pula ada yang disakiti. Tak ada yang melukai, tak pula ada yang dilukai. Tak ada yang berkhianat, tak pula ada yang dikhianati. Setiap kita adalah perantara bagi manusia lainnya untuk proses pendewasaan. Pun kehadiran kawan lama dengan segala perilakunya, ia hanyalah perantara untuk mendewasakan saya dan sahabat saya itu. Buktinya, di kondisi ini saya jadi betul-betul bisa memaknai hakikat: hanya kepada Engkau lah aku menyembah, dan hanya kepada Engkau lah aku memohon pertolongan, yang selama ini jangan-jangan hanya sekedar hapalan dalam bacaan shalat. Dan atas kejadian fitnah si kawan lama ini, hapalan di ingatan ini jadi turun termaknai hingga ke hati. Bayangkan, betapa besar dampaknya. Mentransformasikan sebuah pengetahuan, menjadi sebuah pemahaman.



Pengetahuan berarti ya sekedar tahu. Sedangkan pemahaman, berarti pengetahuannya sudah teruji di lapangan. Kongkritnya, orang yang tahu makna sabar, belum tentu bisa betul-betul sabar saat dibenturkan ke kenyataan. Sedangkan orang yang paham makna sabar, tentu kesabarannya teruji dalam setiap kondisi.



Maka tanpa dibenturkan ke kenyataan, tentu pengetahuan akan tetap berwujud pengetahuan, alias nggak naik naik kelas. Disitu-situ aja. Bahkan tercantum dalam Al Qur’an: tidaklah seseorang dikatakan beriman sebelum ia diuji. Pemaknaan ini seketika mengubah keterpurukan saya menjadi titik bangkit berikutnya. Rasa sakit hati pun berubah seketika menjadi rasa syukur. Kebencian yang hampir timbul, seketika teredam dan berangsur hilang.



Kehadiran fitnah sang kawan lama ini justru membuat saya banyak berpikir, hingga banyak berubah. Saya akhirnya lebih memilih untuk disibukkan dengan introspeksi, karena saya meyakini.. segala keburukan pasti bersumber dari diri sendiri. Dan sangat bijaksana bila saya lebih memilih mengevaluasi diri, ketimbang menyalah-nyalahkan orang lain. Apalagi setelah menyadari bahwa bisa jadi orang lain itu hanyalah ‘alat’ yang Allah pinjam untuk menjadi perantara proses pendewasaan.



Kehadiran fitnah sang kawan lama ini juga memberikan banyak pelajaran. Salah satunya tentang etika. Sebuah berita tanpa konfirmasi, berarti diragukan kebenarannya. Karena apa? Karena pesan yang sampai dari mulut ke mulut, sangat mungkin mengalami penambahan, pengurangan, atau bahkan penyimpangan makna. Lalu tanpa konfirmasi langsung diambil kesimpulan dan disebarkan sebagai berita yang dianggap pasti benar? Dan begitukah perilaku seorang muslim kepada saudaranya sesama muslim? Tentu tidak bagi yang berpikir. Belum lagi sikap reaktif yang dilakukan dengan menggunakan sosial media untuk menyebarkan berita. Itukah cara seorang muslim menasihati saudaranya sesama muslim? Bukankah Rasul sudah mencontohkan adab menasihati yaitu dilakukan tersembunyi, dan jangan di depan khalayak ramai karena itu bukan nasihat, tapi cara mempermalukan. Ya, pelajaran kali ini lebih kepada etika. Tapi sekali lagi, semua terjadi pasti ada maksud-Nya. Dan saya sadar, ini pun salah satu cara mendewasakan. Saya memetik pelajaran, supaya saya, kelak kepada orang lain, jangan berlaku demikian.



***



Andaikata pun engkau orang yang benar,

itu tetap tak berarti engkau diizinkan untuk menyalahkan orang lain.

Sebab bisa jadi, kemuliaan itu hilang seketika akibat kesombongan.

Tak ingatkah? Sombong adalah menolak kebenaran danmerendahkan orang lain.

Hujamkanlah pemahamanmu hingga mengakar jauh menembus tanah.

Tapi di permukaan, kau harus tetap santai dan fleksibel dalam pembawaan.

Sebab hanya dengan cara demikianlah kau mampu menunjukkan,

seperti apa Allah mengajarimu, dengan Ar Rahman.. dan Ar Rahiim-Nya.

0 komentar:

Posting Komentar

statistics

Bukan pakar, mari sama-sama belajar. Pun bukan ahli, mari saling berbagi | Melangit dan Membumi

Diberdayakan oleh Blogger.

Contact