Pada suatu waktu, kami sedang membedah setiap makna pada bacaan sholat. Lalu sampailah pada bacaan tahiyyat. Kita tahu bahwa pada bacaan tahiyyat, bukan hanya nabi Muhammad dan keluarganya saja yang disebut-sebut, tapi ada satu nabi lagi dan keluarganya yang disebut. Who is he? Yeps... Nabi Ibrahim.
Agaknya ustadzah saya menangkap kebodohan-kebodohan yang muncul dari wajah saya, maka sejurus kemudian beliau bertanya, "Adek ada yang mau ditanyain?"
"Eh? hehehe *cengiran andalan saat ketahuan bego*. Saya cuma lagi mikir (walaupun mau seratus tahun mikir juga saya ini tidak akan menghasilkan apa-apa sih *usap-usap jidat*) aja Bu." jawab saya.
"Mikir apa, Dek?"tanya beliau.
"Ibu... kenapa dari sekian banyak nabi, nabi Ibrahim yang selalu disandingkan dengan Rasul? terlebih lagi ini di tahiyyat kita juga menyebut-nyebut keluarga nabi Ibrahim pula. Berarti kan nabi Ibrahim ini pasti punya 'sesuatu' dibanding nabi yang lain, karena nabi Ibrahim ini bapak para nabi gitu? atau apa? Kenapa nggak cukup hanya dengan wasilah dari Rasul? Teladan apa yang Rasul belum bisa berikan sehingga nabi Ibrahim disandingkan selalu dengan Rasul untuk diteladani pula oleh umatnya Rasul?" Ya intinya saya kepo aja sama nabi Ibrahim gitu.
Beliau tersenyum (mungkin kalau bisa nyubit juga beliau akan melakukan itu ke saya), "Iya ya... betul hehehe. Apakah Rasul nggak cukup buat jadi satu-satunya teladan? Apakah Rasul kurang buat jadi satu-satunya wasilah sehingga hadir nabi Ibrahim? Iya... kurang. Ada satu hal yang belum bisa Rasul berikan teladan ke kita umatnya."
Oemjiiiiiiiihhh *sambil mangap-mangap*
"Teladan untuk berbakti pada kedua orangtuanya. Rasul tidak bisa memberikan teladan itu karena sejak kecil sudah tiada orangtua beliau. Sementara kita tahu bagaimana bakti nabi Ibrahim kepada orangtuanya, padahal orangtuanya berbeda aqidah dengan beliau. Bagaimana perjuangan nabi Ibrahim mengembalikan orangtuanya ke Allah." lanjut beliau.
***
Dulu, saya sering dengar teman saya pengen punya orangtua kayak temen saya yang lain. Alhamdulillah saya sih engga pernah punya pikiran atau ngerasa kayak gitu. Se-cerewet-cerewetnya dan se-galak-galaknya ummi, pasti rasional. Se-aneh-anehnya kelakuan dan semenjengkel-jengkelkannya bapak, kadang ada baik dan benarnya juga.
Seorang anak tidak akan pernah menjadi benar-benar dewasa di mata orangtuanya, sudah umur berapapun anaknya. Misalnya seperti saya, yang waktu sungkem hari raya idul fitri udah didoain supaya kelak jadi zaujatu muthi'ah dan ummul madrasah, eh tapi sesaat setelahnya masih disuapin ummi opor ayam karena lagi males makan akibat sariawan. Atau saya juga misalnya yang mau pulang ke rantauan masih disisipin uang saku di dompet padahal sudah kerja yang harusnya sudah bertanggung jawab pada keuangan diri sendiri. "Ih bapak ngapain?" "Ini buat uang sakunya nanti kalau mau naik ojek dari terminal." "Lhoh engga usah.. aku udah nyimpen uang buat naik ojek kok." "engga papa. pake yang dari bapak aja". Begitulah kiranya obrolan sejenak sebelum balik rantauan.
Alhamdulillah 'ala kulli hal. Kita para anak pasti bersyukur punya orangtua kita yang sekarang. Pelajaran hidup apa yang nggak ada dari orangtua? Everything's complete. Nggak heran kalau ridha Allah adalah ridhanya orangtua.
uwaaaahhhh, jadi mellow gini. Padahal tadinya cuma mau nulis tentang bacaan tahiyyat akhir.
Aaaaahiyaaa.. masih dalam suasana bulan syawal. Maafkan saya setulus hatimu yesss... saya sadar saya banyak salah baik saya sengaja atau sengaja banget *lhoh!!*. Sesungguhnya itu khilaf yang susah dikendalikan huks. Saranghae *bentuk hati pake tangan*
Aaaaahiyaaa.. masih dalam suasana bulan syawal. Maafkan saya setulus hatimu yesss... saya sadar saya banyak salah baik saya sengaja atau sengaja banget *lhoh!!*. Sesungguhnya itu khilaf yang susah dikendalikan huks. Saranghae *bentuk hati pake tangan*
0 komentar:
Posting Komentar