Kamis, 29 Juni 2017

Everything's complete

Pada suatu waktu, kami sedang membedah setiap makna pada bacaan sholat. Lalu sampailah pada bacaan tahiyyat. Kita tahu bahwa pada bacaan tahiyyat, bukan hanya nabi Muhammad dan keluarganya saja yang disebut-sebut, tapi ada satu nabi lagi dan keluarganya yang disebut. Who is he? Yeps... Nabi Ibrahim.

Agaknya ustadzah saya menangkap kebodohan-kebodohan yang muncul dari wajah saya, maka sejurus kemudian beliau bertanya, "Adek ada yang mau ditanyain?"
"Eh? hehehe *cengiran andalan saat ketahuan bego*. Saya cuma lagi mikir (walaupun mau seratus tahun mikir juga saya ini tidak akan menghasilkan apa-apa sih *usap-usap jidat*) aja Bu." jawab saya.

"Mikir apa, Dek?"tanya beliau.

"Ibu... kenapa dari sekian banyak nabi, nabi Ibrahim yang selalu disandingkan dengan Rasul? terlebih lagi ini di tahiyyat kita juga menyebut-nyebut keluarga nabi Ibrahim pula. Berarti kan nabi Ibrahim ini pasti punya 'sesuatu' dibanding nabi yang lain, karena nabi Ibrahim ini bapak para nabi gitu? atau apa? Kenapa nggak cukup hanya dengan wasilah dari Rasul? Teladan apa yang Rasul belum bisa berikan sehingga nabi Ibrahim disandingkan selalu dengan Rasul untuk diteladani pula oleh umatnya Rasul?" Ya intinya saya kepo aja sama nabi Ibrahim gitu.

Beliau tersenyum (mungkin kalau bisa nyubit juga beliau akan melakukan itu ke saya), "Iya ya... betul hehehe. Apakah Rasul nggak cukup buat jadi satu-satunya teladan? Apakah Rasul kurang buat jadi satu-satunya wasilah sehingga hadir nabi Ibrahim? Iya... kurang. Ada satu hal yang belum bisa Rasul berikan teladan ke kita umatnya."

Oemjiiiiiiiihhh *sambil mangap-mangap*

"Teladan untuk berbakti pada kedua orangtuanya. Rasul tidak bisa memberikan teladan itu karena sejak kecil sudah tiada orangtua beliau. Sementara kita tahu bagaimana bakti nabi Ibrahim kepada orangtuanya, padahal orangtuanya berbeda aqidah dengan beliau. Bagaimana perjuangan nabi Ibrahim mengembalikan orangtuanya ke Allah." lanjut beliau.


***

Dulu, saya sering dengar teman saya pengen punya orangtua kayak temen saya yang lain. Alhamdulillah saya sih engga pernah punya pikiran atau ngerasa kayak gitu. Se-cerewet-cerewetnya dan se-galak-galaknya ummi, pasti rasional. Se-aneh-anehnya kelakuan dan semenjengkel-jengkelkannya bapak, kadang ada baik dan benarnya juga.

Seorang anak tidak akan pernah menjadi benar-benar dewasa di mata orangtuanya, sudah umur berapapun anaknya. Misalnya seperti saya, yang waktu sungkem hari raya idul fitri udah didoain supaya kelak jadi zaujatu muthi'ah dan ummul madrasah, eh tapi sesaat setelahnya masih disuapin ummi opor ayam karena lagi males makan akibat sariawan. Atau saya juga misalnya yang mau pulang ke rantauan masih disisipin uang saku di dompet padahal sudah kerja yang harusnya  sudah bertanggung jawab pada keuangan diri sendiri. "Ih bapak ngapain?" "Ini buat uang sakunya nanti kalau mau naik ojek dari terminal." "Lhoh engga usah.. aku udah nyimpen uang buat naik ojek kok." "engga papa. pake yang dari bapak aja". Begitulah kiranya obrolan sejenak sebelum balik rantauan.

Alhamdulillah 'ala kulli hal. Kita para anak pasti bersyukur punya orangtua kita yang sekarang. Pelajaran hidup apa yang nggak ada dari orangtua? Everything's complete. Nggak heran kalau ridha Allah adalah ridhanya orangtua.

uwaaaahhhh, jadi mellow gini. Padahal tadinya cuma mau nulis tentang bacaan tahiyyat akhir.




Aaaaahiyaaa.. masih dalam suasana bulan syawal. Maafkan saya setulus hatimu yesss... saya sadar saya banyak salah baik saya sengaja atau sengaja banget *lhoh!!*. Sesungguhnya itu khilaf yang susah dikendalikan huks. Saranghae *bentuk hati pake tangan*



continue reading Everything's complete

Minggu, 11 Juni 2017

stand on the shoulder of giants

Yang pernah buka google scholar, pasti akan menemukan sebuah quote dari John Salisbury, seorang scholar abad ke-12


Quote yang bunyinya 'stand on the shoulder of giants'. Quote beliau sebenarnya lebih panjang lhoh:

"Who sees further a dwarf or a giant? Surely a giant for his eyes are situated at a higher level than those of the dwarf. But if the dwarf is placed on the shoulders of the giant who sees further? ... So too we are dwarfs astride the shoulders of giants. We master their wisdom and move beyond it. Due to their wisdom we grow wise and are able to say all that we say, but not because we are greater than they."

Maksudnya: siapa yang bisa melihat lebih jauh: kurcaci atau raksasa?
Memang raksasa tinggi. Tapi jika kurcaci berdiri di bahu raksasa, dia juga dapat melihat sama jauhnya dengan raksasa. Kita ini seperti kurcaci, ilmunya sedikit. Tapi kita membaca ilmu-ilmu dari ilmuwan-ilmuwan sebelum kita, yang mencurahkan the rest of their life for the advancement of knowledge. Kita mengambil ilmu mereka sehingga pandangan kita jadi lebih jauh. Maka kita jadi hebat bukan karena pandangan kurcaci yang sempit, tapi karena bahu raksasa yang kita jadikan pijakan untuk melihat. Berterimakasih pada para pendahulu dan jangan sombong. Sudahlah pendek, kalau sombong maka orang akan eneg ngelihat kita. Yak?
continue reading stand on the shoulder of giants

statistics

Bukan pakar, mari sama-sama belajar. Pun bukan ahli, mari saling berbagi | Melangit dan Membumi

Diberdayakan oleh Blogger.

Contact