Oleh: Monaliza Sekar
Rini
(dibuat untuk memenuhi permintaan Majalah Niche untuk dimuat di rubrik Cerpen)
“Hargai
orang-orang yang memperjuangkan mimpi mereka, terlebih jika kau terlalu lemah
dan takut untuk memperjuangkan mimpimu sendiri.”
Subuh ini aku
terbangun, tepat saat aku mengerjapkan mata, langsung disuguhkan berbagai
tempelan-tempelan kertas yang berbaris rapi menutup hampir sebagian tembok
putih kamar kostku. Jangan kira ini pemandangan baru, karna memang tempelan
kertas-kertas itu sudah bertengger di tempat yang sama hampir dua tahun ini,
tak jarang malah makin bertambah jumlah tempelannya. Sambil terduduk lunglai di
kasur yang tak terlalu tebal ini, aku regangkan persendianku. Ada kurang lebih
sekitar tiga ratus enam puluh sendi menopang tubuh kita. Pegal, tentu saja.
Setiap harinya tubuhku ini digunakan beraktivitas kurang lebih 20 jam. Karna
kupikir, sebagaimana harta yang perlu ada sedekahnya, maka kita pun perlu
bersedekah untuk sendi-sendi itu, dengan berkarya, beramal. Begitulah, ada
nafas nyawa setiap hari. Datang memastikan hidup setiap kali kita bangun pagi.
Kita harus berbuat, beramal, bersedekah, demi nyawa itu.
Memoriku mulai melayang
ke masa dua tahun silam. Aku masih ingat betul, dulu untuk berada di jalan ini,
setidaknya aku harus menyisihkan ratusan orang lebih, bahkan diantaranya adalah
teman dekatku sendiri, rekan seperjuangan. Pasalnya hanya sekitar 100 kursi
yang tersedia dari ribuan orang lebih yang mendaftar di fakultas yang sekarang
menjadi tempatku mengeyam ilmu, salah satu fakultas eksakta universitas negeri
di kota Semarang. Dengan otak dan kemampuan ekonomi yang pas-pasan, berjibaku
di pertarungan ujian ini bagiku sangat melelahkan. Palpitasi, keringat dingin,
khawatir berlebih terkadang membersamai moment-moment pra maupun pasca ujian
saringan masuk perguruan tinggi ini. Satu awalan sulit, yang akhirnya telah
kulewati. Euphoria akhirnya sempat kurasakan tatkala perjuangan ini membuahkan
hasil. 24020333 muncul dilayar monitor komputer tanda kelulusan ku di ujian saringan
masuk jurusan yang aku pilih. Aihh, mulai kutepuk-tepuk pipiku, lama sudah aku
termenung di atas kasur. Bergegas aku mulai bersiap untuk pergi ke kampus.
“Upss, aku lupa. Bahkan
aku belum memperkenalkan namaku, cukup panggil aku Riefa.” aku mulai
menyipitkan mataku tajam, mengolah suaraku bak gemuruh suara pendongeng handal.
“Aku akan memberitahu kalian sebuah cerita, sebuah cerita yang hidup di dalam
mimpi manusia. Sebuah cerita yang berasal dari rumah petak kusam di ujung desa,
dengan semangat menggelora dan dihiasi
dinginnya malam untuk menagih janji-janji indah masa depan. Di rumah itu
tinggal gadis sulung dari lima bersaudara bersama kedua orangtuanya. Sejak kios
ayahnya di pasar ludes karna kebakaran pasar lima tahun lalu, demi menyambung hidup keluarganya, sang
ibu rela menjual barang-barang yang ada di rumah mereka pada tetangga sekitar.
Ibunya sudah kehabisan cara untuk mendapatkan uang guna membeli beras.
Dijuallah satu persatu barang-barang, setiap kali adik-adik si sulung menangis
karena kelaparan. Mulai dari beberapa pakaian, alat-alat dapur seperti gelas,
piring, panci, bahkan di dapur mereka sekarang sendok dan garpu pun ikut habis
terjual. Upah ayahnya yang kini menjadi kuli
serabutan di pasar tidak cukup untuk menopang biaya keluarganya. Tak jarang
uang hasil sang ibu menjual barang-barang itu dibelikan setengah liter beras
untuk dimasak menjadi bubur agar cukup dimakan mereka berlima. Jauh di dalam
hati sang gadis, tersimpan mimpi sederhana, membahagiakan orangtuanya,
mengangkat derajat keluarganya, membuat adik-adiknya setidaknya makan rutin
tiga kali sehari. Sesederhana itu? Tentu saja tidak, caranya… nah dia mulai
memikirkan caranya.” aku mulai mengambil jeda nafas. Belum juga aku
menyelesaikan nafasku, bu Lina, pengurus panti asuhan, sudah berdiri di depan
pintu “Ayo semuanya, sudah waktunya kalian membersihkan tempat ini. Lalu bersiap
ke madrasah.”. Kharira, kawanku yang sedari tadi khidmat mendengarkan ceritaku
kepada anak-anak panti ini mengulum senyum. Cepat-cepat dia mengambil
ancang-ancang supaya anak-anak ini tidak merajuk akibat cerita yang mendadak
harus to be continued. “Oke, kita bisa melanjutkan cerita ini besok bersama kak
Riefa kan?,”ucapnya. Cukup dengan kerlingan mata dan senyumanku, mereka
langsung riang dan berhamburan memeluk kami. Jangan meragukan mereka kalau
masalah membaca bahasa ‘kode’.
“Setelah ini mau kemana lagi kakak pendongeng?,” tanya
Kharira saat kami hendak mengayuh sepeda meninggalkan panti asuhan itu. “Sudah
cukup, hari ini tidak kemana-mana lagi. Kita pulang ke kostku saja, masih ada
berkas-berkas sponsorship yang harus
aku siapkan,” jawabku sambil mengayuh sepeda.
Aku
pendongeng? Tentu saja bukan. Aku hanya seseorang yang ingin menyebarkan
semangat perjuangan atas janji-janji indah masa depan. Hingga saat ini, itulah
yang baru mampu kuberikan kepada sesamaku, anak-anak itu, yang tanpa mereka
sadari bisa saja mimpi-mimpi mereka menembus batas keadaan yang ada.
Kharira langsung membuka jendela
kamar kostku, sementara aku langsung sibuk krasak-krusuk mencari
dokumen-dokumen yang aku butuhkan di rak buku kecil dalam kamarku. “Uhhh panas
sekali disini. Perasaan di Jogja mau musim kemarau seperti apa juga tidak
begini amat panasnya,” Kharira mengibas-ngibaskan tangan di depan wajahnya.
“Jangan latah keadaan begitu, namanya juga Semarang beda dengan di Jogja,
apalagi kamarku ini sempit, ya jelas saja panasnya minta ampun. Kalau tidak
tahan, ya pulang saja sana ke Jogja,” aku menyeringai menatapnya. “Sejak kapan
kamu jadi sesensitif kulit bayi begitu hah? Aku kan hanya mencoba memberi
informasi saja,” Kharira gusar mendengar jawabanku. Kharira itu mahasiswi salah
satu universitas negeri unggulan di Jogja, jurusan hubungan internasional. Perkenalan
kami sungguh tak terduga, siapa yang menyangka dua gadis dan berkenalan di bis
antar kota sekarang menjadi kawan karib seperti kami ini. Kharira kawan yang
pas untuk diajak berdiskusi mengenai banyak hal, mungkin jika kalian bertemu
langsung dengannya akan menganggap gadis yang ramah ini biasa-biasa saja. Tapi
setelah kalian berbicara dengannya, jaga saja mulut kalian agar tidak menganga
terlalu lama karna terbius kecerdasan yang dibalut dengan public speaking yang hebat darinya, bidang sosial; politik; humanity; lingkungan; pendidikan;
internasional bahkan agama pun seperti dia tahu segalanya, berdiskusi dengan
Kharira menjadi pencerdasan tersendiri bagiku. Yaa.. malam ini aku harus
berbagi kasur ukuran seorang ini dengan Kharira, dia ada workshop di Semarang.
Bukan Kharira namanya kalau tidak
bisa menghidupkan suasana kembali, “Baik, lupakan masalah panas, Semarang, dan
Jogja. Bagaimana dengan perkembangan permohonan sponsormu untuk ke Praha?,” kali
ini dia bertanya dengan nada hati-hati. “Entahlah. Ini sudah H-4 dari batas
verifikasi kongres pemuda internasional di Praha itu, tapi sampai hari ini
tidak ada satu maskapai pun yang berhasil aku minta untuk menjadi sponsorku ke
Praha. Ra, berapa kali lagi aku harus menyimpan mimpi-mimpiku kembali?,”
rasanya tak kuasa lagi aku membendung buliran air mata yang kini serasa
berjubal untuk berhamburan ke pipi. Tidak tidak tidak!!! Masih ada empat hari
lagi bukan? Ya, siapa yang tahu rencana Tuhan empat hari ke depan, mungkin
besok, atau besoknya lagi, atau besoknya lagi jalan terang itu akan ada. Air
mata ini, bukan sekarang saatnya berhamburan ke pipi.
“Orangtuamu? Apa mereka tahu tentang
hal ini?,” Kharira menghampiriku. “Tidak, aku tidak memberitahu mereka sebelum
semuanya tampak nyata. Aku merantau ke Semarang untuk kuliah bermodal tekad,
untungnya disini aku masih bisa bertahan hidup dari beasiswa-beasiswa itu.
Memikirkan makan keempat adikku di rumah saja orangtuaku sudah susah, mana tega
aku mengatakan hal ini ke orangtuaku. Bahkan untuk sekedar memberi kabar
tentang hal ini saja, bukan meminta bantuan, aku tidak sanggup. Akan menambah
beban pikiran mereka, kalau kalau membuat mereka merasa menyesal karna tidak
bisa berbuat sesuatu untukku.” mataku menerawang jauh. Obrolanku dengan Kharira
senja ini, serasa mengumpulkan kembali remah-remah semangatku yang sempat
berhamburan beberapa saat lalu. Aku ingat janjiku pada diriku sendiri, “membahagiakan orangtuaku, mengangkat derajat
keluargaku, membuat adik-adikku setidaknya makan rutin tiga kali sehari”. Aku
mendapatkan caranya kala itu, dengan sadar akan pentingnya pendidikan, semoga
Tuhan membersamai di setiap langkahku.
Aku mulai mengayuh kencang sepedaku,
sesekali kusapu peluh yang ada di wajahku dengan punggung tangan, menembus
kabut yang turun, menyesap aroma tanah bekas guyuran hujan semalam. Jalanan
utama di Semarang masih lengang pagi ini, maklum ini baru pukul 05.15 WIB.
Semalam aku sudah membuat list
sponsor yang harus aku datangi hari ini, berhubung hari ini tidak ada ongkos
untukku naik angkutan umum, jadi aku berangkat ke tempat tujuanku dengan
sepeda, pagi-pagi, supaya aku bisa lebih awal sampai disana, karna siangnya
harus kembali ke kampus, ada jadwal kuliah.
H-3, H-2, kucoret sembarangan dua
angka yang ada di kalender bulan ini. Besok, waktuku tersisa besok sebelum deadline itu datang. Dan benar, hingga
detik-detik terakhir penutupan verifikasi itu aku hanya bisa menggigit bibir.
Ngilu rasanya. Tulang-belulangku juga entah kenapa mendadak lunglai rasanya. Hatiku
koyak, mulai mempertanyakan janji-janji indah masa depan yang diperuntukan bagi
mereka yang berjuang. Aku? Kurang berjuang kah aku?... ohh sungguh aku tidak
sanggup lagi mengungkapkannya, pertanyaan-pertanyaan yang melayang di benakku
saat ini sungguhlah buruk, mempertanyakan kekuasaan, mempertanyakan mimpiku
sendiri, bahkan aku mulai merasa diriku diperbudak oleh mimpi-mimpiku itu. Yaa
benar, selain pendidikan, setidaknya aku ingin menginjakkan kaki di belahan
dunia sebelah sana, belajar dengan cara berbeda, belajar dari bangsa yang
berbeda, belajar di tempat berbeda. Belajar, belajar, belajar…untuk selanjutnya
memberi, memberi pada orangtuaku, adik-adikku, lingkunganku, sesamaku…
Jangan kira ini seperti cerita novel
dan sejenisnya diluaran sana yang tokoh utamanya sekuat baja, setegar karang. Kalian
salah kalau mengira begitu, ini ceritaku, Riefa. Aku jatuh, menangis
sejadi-jadinya di dalam kamarku, baru kali ini aku merasakan benar-benar berada
di titik terbawah, aku serasa orang paling miskin disini. Bukan hanya miskin
harta, tapi juga serasa miskin daya juang. Punya apalah aku sekarang,
orang-orang seperti aku ini satu-satunya harta terbesar adalah daya juang, tapi
mendadak sekarang daya juangku itu leleh bak bongkahan gunung es di puncak Jaya
Wijaya yang dipindahkan dadakan ke Semarang yang suhunya panas minta ampun. Mungkin
aku tidak akan serapuh ini jika ini kegagalan pertamaku, sayangnya ini kesekian
kali kegagalanku dengan masalah yang sama. Biaya. Manusia mana yang tidak
mempertanyakan tentang keadilan kalau sudah begini.
Kupandangi lekat-lekat tempelan kertas-kertas yang ada di
tembok kamar kostku. Sampailah mataku pada satu kertas bertuliskan, “Ya Tuhan, ini mimpi hamba tiap tahunnya.
Pergi ke belahan dunia bagian lain untuk belajar tentang segala pelajaran yang
bisa hamba dapatkan tanpa biaya sepeser pun dari kantong hamba. Tuhan, di
kawasan Asia dulu tidak masalah. Seperti China, Thailand, Malaysia… untuk selanjutnya ke negara asal pohon mapple,
KANADA”. Lalu tempelan kertas di sebelahnya, “Tuhan, permudah jalan hamba untuk dapat melihat pohon mapple di negara
asalnya. KANADA”. Lucu bukan? Tentu saja kalian menganggap itu lucu, tapi
aku terkagum-kagum dengan mapple. Daun yang menjadi lambang di bendera sebuah
negara itu, ohhh sungguh, seharusnya aku tidak perlu membaca novel non fiksi
itu yang membuatku tergila-gila dengan belahan dunia dibagian sana hingga
seperti ini, pikirku. Makin kubaca tempelan-tempelan itu, makin serasa memuncak
rasa sedih, kesal, marah, dan semua rasa-rasa yang membuatku bingung ini.
Aku butuh waktu, untuk menyembuhkan ‘lukaku’ ini. Sebulan, dua bulan, yaa saat ini aku sudah
melanjutkan aktivitasku seperti semula. Menjadi aktivis kampus, kuliah,
pendongeng di panti-panti, kerja part
time, dan tentu saja masih mengoyak kesempatan-kesempatan ke luar negeri
yang ditawarkan. Jika kalian berpikir, ‘anak
ini ga ada kapoknya’, aku pun berpikiran yang sama pada diriku sendiri.
Saat aku terpuruk beberapa bulan lalu, sahabat karibku Kharira datang dari
Jogja. Jauh-jauh dari Jogja, saat melihat keadaanku yang tidak bisa
didefinisikan dengan kata ‘layak’, dia hanya berkata “Riefa, sahabatku, pejuang
yang selalu memperjuangkan janji-janji indah masa depan. Ketahuilah, Tuhan
tahu, tapi menunggu,” ujarnya sambil memelukku. Sekarang, setelah kondisi
mentalku kembali seperti semula, aku bisa tertawa sendiri mengingat hal itu.
Lucu. Entah dimana sisi lucunya, aku malu, malu pada diriku sendiri yang sempat
menghujat mimpi-mimpi itu. Karna benar kata Kharira, ‘Tuhan tahu, tapi
menunggu’. Aku memang tidak jadi pergi ke Praha, tapi beberapa hari lalu, masuk
ke emailku pengumuman bahwa aku lolos menjadi mahasiswi exchange ke Korea. Akomodasinya? Tentu saja tidak perlu
kukhawatirkan kali ini, karena semua biaya ditanggung oleh pihak penyelenggara.
“Kalian mau mendengar cerita selanjutnya dari sang gadis?,”
aku bertanya, menggoda mereka. “Tentu saja, tentu saja,” suara teriakan mereka
serentak memekakkan telingaku. “Gadis itu berhasil menagih janji-janji indah
masa depan bagi mereka yang selalu berjuang di garda depan, seperti yang selalu
ibunya katakan. Setelah mengalami semua itu, sang gadis menyadari, bahwa bukan
melulu harta yang bisa menagih janji indah masa depan, tapi keyakinan dan mimpi
yang diperjuangkan. Selesai.” aku tersenyum dan mengusap rambut mereka satu
persatu. “Terima kasih kak Riefa… besok kita bertemu disini lagi ya. Ceritakan
lagi kepada kami tentang kisah-kisah yang lain. Sepakat?,” ujar salah seorang
anak. “Wohh tentu saja sepakat.” kami saling menautkan jari kelingking. Tak
lama kemudian punggung-punggung mereka semakin lamat-lamat menjauh dan hilang
dari pandanganku.
Aku mendongak ke atas, kulihat ranting-ranting pohon mapple
yang meranggas berada di atasku. Kulihat pula ke arah sepatuku, aku tersenyum,
terdapat jejak bekas sepatuku di lapisan salju bawah kursi taman yang kududuki
saat ini. Yaa.. saat ini aku berada di Kanada, melanjutkan beasiswa S2 ku
disini. Ini merupakan negara keempat yang kukunjungi sejak exchange di Korea dulu itu. Sungguh, Tuhan menjawab doa hambanya
dengan cara yang luar biasa. Anak-anak yang baru saja selesai kudongengi,
adalah anak-anak berdarah Indonesia yang orangtuanya bekerja di Kanada. Jadi
rindu dengan anak-anak panti di sekitaran kampusku, apa kabar ya mereka?
Oh iya, tentang Kharira…kalian ingin tahu sekarang bagaimana
keadaannya? Semalam dia mengirim email padaku, dia dinobatkan menjadi salah
satu penerima penghargaan bergengsi ASHOKA Young Change Maker tahun ini atas
kepeduliannya terhadap lingkungan di Jawa terutama mengenai sampah katanya,
hebatnya kawanku itu.
Bagaimana? Luar biasa bukan kekuatan mimpi,
tentu saja mimpi yang diperjuangkan. Jangan pernah berhenti untuk bermimpi,
karena impianlah yang bisa mengetuk pintu hati kita untuk selalu berusaha
mencapainya.