... dan ilmu itu bukan untukmu
sendiri. Tetapi ialah untuk anak cucumu, untuk bangsa Indonesia, untuk rakyat
Indonesia, untuk tanah air Indonesia dan untuk Negara Republik Indonesia
(Ir. Soekarno – Pidato untuk Mahasiswa AS 1956).
Banyak orang menganggap menjadi seorang mahasiswa
adalah sesuatu yang membanggakan, karena menjadi mahasiswa bagi sebagian
masyarakat berpendapat bahwa mereka adalah orang yang cerdas, berpendiddikan,
mempunyai pola pikir yang lebih maju. Dilihat dari fenomena ini apakah seorang
mahasiswa yang mempunyai IPK tinggi atau organisasi mahasiswa, mana yang lebih
berguna? Hal ini cukup beralasan mengingat bahwa ada mahasiswa yang lebih
mementingkan nilai yang sempurna sehingga di akhir semester mereka mendapatkan
IPK tinggi dan memuaskan yang konon dapat menguntungkan mahasiswa itu sendiri.
Tak sedikit mahasiswa yang galau
menentukan perannya untuk menjadi aktivis atau kaum pragmatis yang berorientasi
pada akademik semata. Setidaknya hal itulah yang saya lihat di kalangan
mahasiswa Fakultas Sains dan Matematika (FSM) Universitas Diponegoro.
Dimana pun para mahasiswa
menjatuhkan pilihannya mengenai peran yang mereka inginkan, itulah hak mereka
tanpa ada orang lain yang berhak menginterfensi. Melihat kultur pembelajaran di Fakultas Sains dan Matematika
yang notabene adalah fakultas eksakta dengan berbagai kegiatan praktikum,
menjadikan salah satu alasan klasik bagi mahasiswa untuk menjadi kaum pragmatis
dengan berorientasi pada bidang akademik.
IPK terkadang memang dijadikan sebagai tolak ukur untuk menilai
kemampuan mahasiswa dan juga kompetensi yang dimiliki oleh para mahasiswa. Tapi,
belum tentu IPK benar-benar merupakan tolak ukur yang tepat, karena nilai yang tinggi
belum tentu mencerminkan kepribadian yang tinggi pula. Karena IPK tinggi hanya
pencerminan dari kecerdasan intelegensia (IQ) saja padahal selain IQ ada juga
kecerdasan lain yang merupakan faktor penentu suksesnya seseorang yaitu
kecerdasan emosi. Ketika terjun di masyarakat, kecerdasan emosi mempunyai
peranan yang cukup besar dalam kesuksesan seseorang, karena pribadi yang
tangguh dan pantang menyerah dalam menghadapi beberapa cobaan itu lebih baik
daripada seorang jenius yang bermental lemah dengan menyerah dalam menghadapi
beberapa kegagalan.
Jangan beranggapan dengan adanya mahasiswa
pragmatis, FSM menjadi langka aktivis mahasiswa. Sebaliknya, di FSM banyak
mahasiswanya menyadari bahwa peran
mahasiswa bukan hanya menonjolkan IPK bagus saja. Mereka menyadari bahwa pemuda memiliki peran yang alamiah
yakni kepeloporan dan kepemimpinan dalam menggerakkan potensi dan sumber daya
yang ada pada masyarakat. Dan tugas pemimpin pemuda adalah membangun semangat,
kemampuan, dan pengalaman. Disadari atau tidak, organisasi mahasiswa merupakan
lahan untuk kita berlatih akan hal tersebut. Standar menjadi aktivis itu mempunyai soft skill untuk
mendukung prestasi yang akan diperjuangkannya.
Menbaca quote dari Ir. Soekarno di awal tulisan
ini, tampak betapa besarnya peranan mahasiswa yang diharapkan bukan hanya pada
tahun itu, namun hingga sekarang pun diharapkan mahasiswa mempunyai jiwa dan sosok tangguh yang bukan hanya
memikul tanggung jawab estafet pendahulu tapi juga pribadi yang potensial untuk
mengemban titah kebhinekaan. Mahasiswa layaknya aset besar yang berharga
sekaligus ruh suatu negara.
Mereka sudah siap menanggung segala resiko sewaktu akan bergabung
menjadi aktivis mahasiswa. Gambaran tentang kesibukan bagaimana dihimpit waktu
untuk menyelesaikan kewajiban sudah dipikir masak- masak oleh para aktivis
mahasiswa. Mereka sangat mengerti aturan dalam sistem perkuliahan dan mereka
mampu bersaing dengan mahasiswa lain yang sepenuhnya bisa mengikuti
perkuliahan. Mereka juga sangat aktif dalam mengikuti pembelajaran yang sedang
berlangsung, misalnya mereka selalu merespon diskusi kelas dan jika mereka
kurang memahami suatu materi yang disajikan, mereka tak segan ataupun malu
untuk mengajukan pertanyaan. Selain itu mereka mampu mengeluarkan ide- ide baru
sebagai suatu inspirasi bagi mahasiswa lain. Ini juga termasuk nilai positif
dari aktivis mahasiswa yang bisa juga menjadi mahasiswa yang kritis dalam
menanggapi suatu masalah yang sedang marak terjadi. Menurut para aktivis
mahasiswa ini, dengan banyak kegiatan, mereka bisa memperoleh berbagai wawasan
dan pengalaman. Mereka juga berasumsi bahwa kelak ketika memasuki dunia kerja
itu pasti banyak suatu perusahaan maupun lembaga yang membutuhkan seseorang
yang mempunyai jiwa keorganisasian dan juga pengalaman meghadapi suatu pilihan
dengan berpikir logis dan sistematis.. Dengan keyakinan tersebut mereka
berusaha mengembangkan diri di bidang akademik dan kemahasiswaan.
Kini bukan zamannya lagi mahasiswa hanya
kuliah-pulang-kuliah-pulang (kupu-kupu). Negeri ini tak hanya butuh generasi
yang pintar secara intelektual dan mampu menyanjung atau menghujat saja, tetapi
generasi pembaharu sekaligus penyambung lidah rakyat yang memberikan kontribusi
dan manfaat. Jangan jadikan kepadatan jadwal akademik sebagai pembenaran untuk
menghalangi kita melaksanakan peran sebagai mahasiswa yang memiliki “gelar” agent
of change, agent of social control dan iron stock. Karna
banyak kawan-kawan aktivis di fakultas kita yang juga berhasil dalam bidang
akademik. Terjun dalam dunia organisasi dan menjadi aktivis mahasiswa tidak ada
salahnya. Pengabdian dapat dilakukan dalam berbagai bentuk tergantung dari
minat kita masing-masing seperti edukasi, kegiatan sosial, dan sebagainya.
Indonesia membutuhkan pemuda-pemuda tangguh serta cerdas dalam kemampuan
intelegensi maupun emosional untuk perbaikan bangsa ini. Kegiatan akademik
maupun sebagai aktivis mahasiswa hendaknya diupayakan berjalan secara seimbang.
Saya rasa dibutuhkan pula apresiasi, ekspose dan pengakuan
dari pihak birokrat dalam bentuk nyata bagi mahasiswa yang berprestasi dan tak
jarang dari kalangan aktivis mahasiswa untuk membuka mata mahasiswa lain bahwa
aktivis mahasiswa di FSM tidak melulu lekat dengan label aksi, bolos kuliah dan
lain sebagainya seperti pandangan yang ada selama ini. Karena ekspose bagi
mahasiswa FSM yang berprestasi maupun yang menjuarai suatu ajang dirasa kurang dikalangan
mahasiswa FSM sendiri.
Saya
ingin melalui tulisan ini, kita bersama-sama renungkan kembali. Untuk para
aktivis mahasiswa, adakah metode yang selama ini digunakan mungkin kurang tepat
sehingga menjadikan langkah gerakan perjuangannya tidak responsif, inklusif,
dan sulit dipahami. Bagi mahasiswa yang saat membaca tulisan ini cenderung
bukan aktivis, mungkin ada baiknya mulai mencoba mengapresiasi dan belajar membuka
diri bahwa di luar sana begitu banyak yang membutuhkan aktivisme dan wujud
nyata empati dari kita semua.
(Monaliza / Bio ‘11) (Artikel yang didedikasikan untuk Buku Jejak DAGRI BEM FSM 2012).
REFERENSI