"Khairunnas anfa 'uhum linnas"
***
Nice home work yang diberikan kepada saya kali ini kembali mengingatkan saya akan kalimat di awal tulisan ini. Ya, salah satu potongan hadist tersebut sejak SMA telah menggantung di tembok kamar saya besar-besar. Hingga lambat laun kalimat tersebut terpatri di bawah alam sadar saya.
Flashback, saya adalah anak desa yang pendiam kala SMP. Mendobrak zona nyaman dengan memilih melanjutkan dari SD di desa ke SMP di kota membuat tempaan psikologis yang lumayan hebat pada diri saya. Bagaimana tidak? Ketika saya baru mengenal bahasa Inggris sebatas apple, banana, this is chair, my name is Monaliza. Teman-teman kota saya sudah ceriwis mengobrol sehari-hari di kantin sekolah menggunakan bahasa Inggris 😂 yhaaa saya puk-puk'in diri saya sendiri aja kala itu. Ketika saya pikir, jadi pengisi rubrik utama majalah dinding SD sudahlah keren, eee temen-temen SMP saya semasa SD nya sudah lomba mata pelajaran ataupun lomba vocal atapun lomba dance tingkat provinsi bahkan tingkat nasional. Berkali-kali jatuh sakit dan tidak bisa masuk sekolah sudah biasa untuk saya, penyebabnya? Stess 😂😂😂 lihat temen-temennya berkembang sementara saya masih berada di satu titik karena tak berani melangkah maju akibat minder duluan.
Hingga turning point nya, saya menyadari bahwa jauh di lubuk hati saya tidak pernah ingin menjadi seseorang yang biasa-biasa saja, stress tadi akibat ekspektasi diri saya yang tidak saya eksekusi, sehingga ekspektasi tak pernah menjadi realita. Saat itu saya toyor kepala sendiri, "Oh Allah. Tidak di zona nyaman bukan berarti saya tak bisa menelurkan apapun dong... Kita hidup sekali lalu mati, kok rasanya sayang kalau hanya menjadi versi yang seperti sekarang ini ya." Binggo!!! Sejak saat itu, saya berusaha menjadi versi terbaik yang saya mampu, walauuu tentu prosesnya tak mudah. Awalnya saya selalu memaksa diri saya untuk melawan ketidakmampuan saya sebelumnya. Semisal, sebelum berangkat sekolah, saya bilang ke diri saya, "Mona, hari ini di kelas minimal 2x kamu harus mengacungkan jari untuk menjawab pertanyaan dari pak Guru. Kamu harus siap ya Mona!". Saya mulai menaikkan 'dosis' yang harus saya dobrak setiap harinya.
SMA, saya menemukan kalimat "Khairunnas anfa 'uhum linnas" dalam buku pelajaran agama. Mungkin ini definisi dari love at the first sight kali ya 😂. Hadist yang saya baca seakan-akan langsung merasuk ke relung hati dan saya begitu menyukainya. Sukanya ini bukan sebatas suka, tapi sudah ada ditingkat 'suka yang akan diimplementasikan dalam suatu tindakan'.
Hmmm... iya, sejak saat itu saya menjadi seseorang yang kalau mau maju mundur berbuat kebaikan, selalu saya ingat kembali hadist tersebut sebagai motivasi "Ini kata Rasul lhoh. Alasan ini udah cukup kuat lhoh. Ayo ambil aja / ayo maju aja." gitu hehe.
Termasuk di kelas matrikulasi saat ini. Saya sebenarnya mengalami pergolakan batin saat maju menjadi perangkat kelas semisal "aku mampu nggak ya. aku bisa nggak ya. eh kalo nanti aku salah gimana dong" tapi langsung tertepis dengan keinginan besar untuk menjadikan hidup saya sedikit berarti bagi orang lain dengan cara mengambil peran yang ada. Melayani. Saya meyakini bahwa posisi yang memiliki konsekuensi lebih ketimbang peserta lain bukan diberikan Allah kepada kami karena kemampuan kami yang lebih dibanding peserta lain. Justru, posisi ini menjadi alarm kepada kami bahwa kami-kami inilah yang kurang jika dibandingkan peserta lainnya. Karenanya Allah memberikan 'tugas' yang lebih daripada peserta lain agar kami bisa belajar lebih banyak lagi.
Semoga Allah menerima segala amal dan memberkahi segala aktivitas kita, ya 😉